Senin, 31 Desember 2012

Tafsir Surat Al ‘Ashr: Sebuah Tips Jitu Membebaskan Diri Dari Kerugian


Semoga ini bisa jadi renungan ane di akhir taon 2012

Sebuah Artikel tentang Kajian Qs. Al Ashr yang di tulis ulang dan dimodifikasi oleh :


Fuad Suyatman, Ch. M.

Hypnoblogger, Hypnographolog and Hypnolove Master in


1. King Of Mind
(http://seratdakwah.blogspot.com/2012/04/king-of-mind.html)

2. Ztrongmind
(http://www.ztrongmind.net)
and

3. Relax's Mind

(http://www.facebook.com/groups/288023281266070/http://www.facebook.com/groups/288023281266070/)

Surakarta


Bicara soal Waktu? Tidak lengkap rasanya jika kita tidak menyinggung sebuah firman Allah Yang Maha Dahsyat yang terkandung dalam Al Qur'an yang berbicara mengenai tips jitu bagaimana menaklukkan waktu serta bagaimana supaya waktu yang kita miliki itu berkualitas. Ya, Qs. Al Ashr!! Sebuah surat dimana di dalamnya Allah ta’ala berfirman,

وَالْعَصْرِ (1) إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (2) إِلَّا الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ (3)

”Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal sholih dan saling menasihati supaya menaati kebenaran dan saling menasihati supaya menetapi kesabaran” (QS. Al ‘Ashr).

Surat Al ‘Ashr merupakan sebuah surat dalam Al Qur’an yang banyak dihafal oleh kaum muslimin karena pendek dan mudah dihafal. Namun sayangnya, sangat sedikit di antara kaum muslimin yang dapat memahaminya. Padahal, meskipun surat ini pendek, akan tetapi memiliki kandungan makna yang sangat dalam. Sampai-sampai Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata,

لَوْ تَدَبَّرَ النَّاسُ هَذِهِ السُّوْرَةَ لَوَسَعَتْهُمْ

”Seandainya setiap manusia merenungkan surat ini, niscaya hal itu akan mencukupi untuk mereka.” [Tafsir Ibnu Katsir 8/499].

Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, ”Maksud perkataan Imam Syafi’i adalah surat ini telah cukup bagi manusia untuk mendorong mereka agar memegang teguh agama Allah dengan beriman, beramal sholih, berdakwah kepada Allah, dan bersabar atas semua itu. Beliau tidak bermaksud bahwa manusia cukup merenungkan surat ini tanpa mengamalkan seluruh syari’at. Karena seorang yang berakal apabila mendengar atau membaca surat ini, maka ia pasti akan berusaha untuk membebaskan dirinya dari kerugian dengan cara menghiasi diri dengan empat kriteria yang tersebut dalam surat ini, yaitu beriman, beramal shalih, saling menasehati agar menegakkan kebenaran (berdakwah) dan saling menasehati agar bersabar” [Syarh Tsalatsatul Ushul].


Kedahsyatan Qs. Al Ashr

Dalam artikel lain yang juga membahas tentang kedahsyatan Qs. Al Ashr ini disebutkan bahwasanya Menurut Ibnu Katsir, surat Al-’Ashr merupakan surat yang sangat populer di kalangan para sahabat. Setiap kali para sahabat mengakhiri suatu pertemuan, mereka menutupnya dengan surat Al-’Ashr.

Imam Syafi’I dan juga Tafsir Mizan menyatakan bahwa walaupun surat Al-’Ashr pendek, tapi ia menghimpun hampir seluruh isi Al-Qur’an. Kalau Al-Qur’an tidak diturunkan seluruhnya dan yang turun itu hanya surat Al-’Ashr saja, maka itu sudah cukup untuk menjadi pedoman umat manusia.

Thabathaba’i menyebutkan, “Surat ini menghimpun seluruh pengetahuan Qur’ani. Surat ini menghimpun seluruh maksud Al-Qur’an dengan kalimat-kalimat yang indah dan singkat. Surat ini mengandung ayat-ayat Makkiyah dan Madaniyah, meskipun surat ini lebih tampak sebagai surat Makkiyah.”

Ada kisah menarik seputar Qs. Al Ashr ini pada masa Rosululloh SAW. Di zaman Rasulullah ada seorang Nabi palsu, Musailamah Al-Kadzab, yang menyaingi Rasulullah dengan mendakwakan dirinya sebagai Nabi. Musailamah Al-Kadzab bersahabat dengan ‘Amr bin Ash, salah satu sahabat Nabi yang termasuk terakhir dalam memeluk Islam.

Ketika surat ini turun, ‘Amr bin Ash belum masuk Islam, tetapi ia sudah mendengarnya. Ketika ia berjumpa dengan Musailamah Al-Kadzab, Musailamah bertanya tentang surat ini: “Surat apa yang turun kepada sahabatmu di Mekah itu?”

’Amr bin Ash menjawab, “Turun surat dengan tiga ayat yang begitu singkat, tetapi dengan makna yang begitu luas.”

“Coba bacakan kepadaku surat itu!” Kemudian surat Al-’Ashr ini dibacakan oleh ‘Amr bin Ash. Musailamah merenung sejenak, ia berkata, “Persis kepadaku juga turun surat seperti itu.”

‘Amr bin Ash bertanya, “Apa isi surat itu?”

Musailamah menjawab: “Ya wabr, ya wabr. Innaka udzunani wa shadr. Wa sãiruka hafrun naqr. Hai kelinci, hai kelinci. Kau punya dada yang menonjol dan dua telinga. Dan di sekitarmu ada lubang bekas galian.”

Mendengar itu ‘Amr bin Ash, yang masih kafir, tertawa terbahak-bahak, “Demi Allah, engkau tahu bahwa aku sebetulnya tahu bahwa yang kamu omongkan itu adalah dusta.”

Jika Imam Syafi’i berkata bahwa seandainya seluruh ayat Al-Qur’an tidak turun, maka surat Al-’Ashr ini sudah cukup untuk menjadi pedoman hidup manusia. Maka dengan demikian kita pun bisa berkata, “Seandainya seluruh ayat Al-Qur’an tidak turun, maka ucapan Musailamah itu sudah cukup untuk membingungkan orang. Karena tidak mempunyai kandungan apa-apa di dalamnya.”

Dalam Al-Qur’an, Allah memang sering bersumpah. Allah bersumpah dengan benda-benda, misalnya Wasy Syamsi. Demi Matahari (QS. Al-Syams 1). Allah bersumpah dengan waktu, misalnya Wadh Dhuhâ. Demi waktu dhuha. Wallaili idzâ sajâ. Demi malam apabila mulai gelap (QS. Al-Dhuha 1-2). Allah juga bersumpah dengan jiwa: Wanafsiw wa mâ sawwâhâ. Demi jiwa dan yang menyempurna-kannya (QS. Al-Syams 7). Namun, Allah paling sering bersumpah dengan waktu: Lâ uqsimu bi yaumil qiyâmah. Kami bersumpah dengan hari kiamat. (QS. Al-Qiyamah 1), Wallaili idzâ yaghsyâ, wannahâri idzâ tajallâ. Demi malam apabila gelap dan demi siang apabila terang benderang (QS. Al-Lail 1-2). Dalam surat Al-’Ashr ini Allah bersumpah dengan waktu: Wal-’Ashr.


Membedah Qs. Al Ashr

Surat ini diawali dengan kata Wal-’Ashr, demi masa (Rasulullah). Masa Rasulullah dianggap seluruh mazhab sebagai masa yang paling penting. Dikarenakan masa itu ialah ‘Ashrut tasyri’ (masa ditetapkannya syari’at), masa diturunkannya Al-Qur’an, dan masa dikembangkannya agama Islam. Selanjutnya Thabathaba’i menyatakan, “Inilah masa terbitnya Islam di tengah-tengah masyarakat manusia dan masa munculnya kebenaran di atas kebatilan.”


Ayat kedua menyebutkan --> Innal insãna lafi khusr yang artinya: sesungguhnya manusia berada dalam kerugian. Kata insan, menurut Muthahhari, mengandung penafsiran bahwa di dalam manusia itu ada dua sifat, yaitu sifat Hayawaniyah dan sifat Insaniyah (sifat-sifat kebinatangan dan sifat-sifat kemanusiaan).

Manusia dalam sifat kebinatangannya sama dengan binatang yang lain, misalnya ingin makan, minum, menghindari hal yang menyakitkan, dan ingin memperoleh kenikmatan dalam hidup. Muthahhari membedakan antara istilah kenikmatan dan kebahagiaan (pleasure dan happiness). Binatang itu tidak pernah memiliki happiness, tetapi memiliki pleasure. Dari segi ini, kita pun sama halnya dengan binatang.

Kalau kita makan yang enak, kita belum tentu bahagia, tetapi pastinya kita memperoleh pleasure (kenikmatan). Tapi misalnya jika kita adalah seorang suami yang pergi jauh merantau dan pulang ke tanah air setelah sekian tahun, ketika kita turun dari pesawat ke lapangan terbang, di seberang sana kita melihat isteri dan anak kita yang seketika membuat kita langsung bergegas untuk berlari dan mencium anak isteri kita? Saat itu kita bukan hanya merasakan pleasure, tetapi juga happiness.

Jadi apa yang membedakan kebahagiaan dengan kenikmatan? Kenikmat-an itu sifatnya hayawaniyah sedangkan kebahagiaan bersifat insaniyah.

Pada segi-segi kebinatangan, kita sama dengan mahluk-mahluk yang lain. Bahkan bila dibandingkan dengan mahluk yang lain, dalam segi jasmaniah kita adalah mahluk yang lemah,

“ Wa khuliqal Insânu dha’îfâ” (QS An-Nisa 28). "Manusia itu dicipta-kan dalam keadaan lemah."

Manusia dan binatang ketika keluar dari perut ibunya sudah siap segala sesuatunya secara fisik. Namun, binatang ketika keluar dari perut ibunya, ia sudah berkembang hampir sempurna. Ia tidak memerlukan perkembang-an yang lain kecuali perkembangan fisik. Malah dalam perkembangan fisik, binatang itu lebih cepat berkembang dan lebih kuat daripada manusia. Anak ayam, misalnya, yang baru menetas dari telur, beberapa menit kemudian sudah bisa berjalan dan berlari.

Manusia tidak demikian -kecuali Gatotkaca dalam cerita pewayangan. Walau manusia itu sudah bisa berjalan, ia belum dikatakan sebagai manusia, tetapi calon manusia.

Berbeda dengan Kucing? Kucing itu “sudah menjadi kucing” karena “dibuat menjadi kucing”. Tetapi manusia? “Manusia tidak dibuat menjadi manusia” atau "Manusia tidak otomatis menjadi manusia karena manusia memiliki akal yang membuatnya harus berpikir bagaimana cara membuat dirinya menjadi manusia seutuhnya.

Lha..“Kekucingan atau kebinatangan” itu dibuat oleh Allah sedang-kan manusia menjadikan “kemanusiaannya” oleh dirinya sendiri. Apakah manusia itu mau menjadi manusia atau tidak, bergantung kepada dirinya sendiri. Binatang memiliki sifat-sifat kebinatangannya itu tidak melalui proses belajar, tidak melalui proses perkembangan kepribadian.

Kalau kucing menangkap tikus atau perilaku-perilaku lain seperti layaknya binatang, itu sudah dibuat untuk dapat berperilaku seperti itu. Tetapi manusia harus belajar untuk mengembang-kan sifat-sifat kemanusiaannya. Ia harus meningkatkan dirinya dari sifat hayawaniyah kepada sifat insaniyah.

Maka ketika Allah menyatakan --> "Innal insãna lafi khusr", maka maksudnya ialah bahwa manusia itu berbeda dengan binatang yang bisa memperoleh kebinatangannya tanpa melalui proses usaha. Manusia berada dalam kerugian, karena kita harus mengembangkan sifat-sifat kemanusia-an, dengan keinginan kita sendiri.

So, Apa yang bisa mengembangkan sifat-sifat kemanusiaan itu ?


Kalau kita membandingkan binatang yang satu dengan yang lain yang sejenis, kita hanya bisa membedakan dalam segi jasmaniah. Antara kambing yang satu dengan kambing yang lain tidak begitu berbeda nilainya. Paling-paling hanya berbeda beberapa kilogram saja. Tapi kalau bicara soal manusia yang satu dengan manusia yang lain nilainya bukan beberapa kilogram, nilainya kadang-kadang jauh seperti jauhnya langit dan bumi.

Misalnya? Ya seperti membandingkan antara Abu Jahal dengan Rasulullah. Dari segi hayawaniyah, kedua manusia itu nilainya sama -mungkin lebih tinggi Abu Jahal beberapa kilogram- tetapi dari segi insaniyah, nilai Abu Jahal itu jauh lebih rendah daripada nilai Rasulullah saw.

Then?
Apa yang membedakan nilai seorang manusia yang satu dari manusia yang lain?
Ternyata yang membedakannya adalah sejauh mana setiap orang mengembangkan nilai kemanusiaannya.

Lantas apa yang bisa mengembangkan nilai kita sebagai manusia?


Karenanyalah kemudian Allah melanjutkan firman-Nya dalam Qs Al Ashr tersebut : "Illalladzîna ãmanu wa ’amilush shãlihat.".

"Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh.". (Al-’Ashr 3).

Jadi, ada dua hal yang mengembangkan nilai kemanusiaan, pertama adalah nilai keimanan dan kedua adalah kemampuan dalam beramal saleh.

Lhah? Kenapa harus iman?


Begini...Jika kita bandingkan dengan Binatang? Binatang memiliki persepsi material. Jika ia mengejar kenikmatan, itu kenikmatan jasmaniah. Oleh karena itu, ia tidak punya happiness.

Nah sementara yang disebut kebahagiaan itu pada hakikatnya bukan yang bersifat jasmani, tetapi bersifat ruhani. Bisa jadi ada orang lapar, tetapi ia bahagia. Ada pula orang yang bergelimang dalam kenikmatan, tetapi ia tidak bahagia.

Dan dengan berbekal imanlah manusia dapat meningkatkan derajat hayawaniyah-nya ke derajat insaniyah, dari pleasure kepada happiness. Imanlah yang dapat menghubungkan manusia dengan sifat-sifat ruhaniah atau spiritual.

Karena itu? manusia tanpa iman sama dengan binatang, nilainya sangat rendah. Ia menjadi orang-orang yang mengejar pleasure bukan mengejar happiness. Manusia yang kosong dari iman adalah manusia dalam pengertian majãzi saja dan pada hakekatnya ia adalah binatang.

Kita dapat menemukan orang-orang yang memiliki nilai kebahagiaan yang sangat tinggi. Misalnya ketika Rasulullah berkata kepada Bilal,

“Hai Bilal, marilah kita tenteramkan hati kita dengan shalat.”

Rasul juga berkata, “Allah jadikan shalat itu sebagai penyejuk batinku.” Sehingga Al-Qur’an pun melukiskan orang-orang seperti itu dengan perumpamaan yang indah bawa :

“Qad aflaha man zakkâhâ." --> "Sungguh berbahagia orang yang mensucikan dirinya” (QS. Al-Syams 9).

Rasulullah pun bersabda mengenai kebahagiaan orang yang berpuasa, “Bagi orang yang berpuasa ada dua kebahagiaan: ketika berbuka dan ketika ia berjumpa dengan Tuhannya.”


Bicara soal kebahagiaan ketika berbuka disini sendiri bukan karena ia mendapat makanan setelah dilaparkan. Jika demikian, apa bedanya dengan binatang yang setelah dilaparkan lalu diberi makan. Kebahagiaan di situ karena ia telah menyelesaikan puasa hari itu dengan baik. Kalau orang-orang yang berpuasa pada malam Idul Fitri meneteskan air matanya ketika mendengar bunyi takbir, itu bukan kenikmatan tetapi kebahagiaan. Karena ia telah menyelesaikan satu bulan penuh dengan keberhasilan dalam melakukan puasanya.

Kemudian yang dapat meningkatkan nilai insaniyah kita adalah a’mãlush shãlihat (amal saleh).

Jadi nilai seorang manusia itu diukur dari iman dan amal salehnya. Dalam Al-Qur’an dinyatakan: "Wa likullin darajâtum mim mâ ‘amilû." yang maksudnya tiada lain bahwa "Untuk setiap orang, derajat yang sesuai dengan amalnya." (QS Al- An’am 132).

Kalau Rasulullah diukur dari segi hayawaniyah-nya, maka beliau tergolong orang yang tidak sukses. Siti A’isyah berkata bahwa Rasulullah itu pernah berhari-hari tidak menemukan sesuatu untuk dimakan.

Menurut Muthahhari, amal saleh itu memiliki dua ciri. Pertama, ciri asli. Sesuatu disebut amal saleh karena memang pada zatnya sudah merupakan amal saleh. Misalnya shalat, zakat, dan berbuat baik kepada orang lain. Kedua, ciri amal saleh diukur berdasarkan hubungan dengan pelakunya. Misalnya shalat bisa hukumnya wajib, sunat, malah bisa haram tergantung pada pelakunya.

Contohnya seseorang shalat karena ingin dianggap hebat dan ingin dipuji. Nilai orang itu bisa jatuh dari amal saleh menjadi amal yang jelek.

Dalam sebuah hadits dinyatakan bahwa apabila seseorang meminjam dengan niat untuk tidak mengem-balikannya, maka Allah menilainya sebagai pencuri. Bila seseorang ketika mengucapkan ijab kabul dan dalam hatinya berniat untuk tidak membayar mas kawinnya, maka Allah menilainya sebagai pezina. Jadi perilakunya sama, tetapi karena berhubungan dengan pelakunya, maka nilainya bisa berubah.

Muthahhari mengatakan bahwa apabila seseorang menagih utang dan orang yang berutang itu mau shalat dan mengatakan:

“Nanti utang saya bayar setelah saya shalat”, maka Muthahhari menyatakan bahwa shalatnya bukan amal saleh. Mengapa?

Karena orang itu ingin segera utangnya dibayar, sementara waktu shalatnya masih ada. Maka dalam hal itu, dahulukanlah membayar utang daripada melakukan shalat.

Contoh lain misalnya suatu waktu kita akan pergi shalat Jum’at, lalu kita melihat orang yang tertabrak. Kalau kita tidak menolong dan malah terus pergi shalat, maka shalat Jum’at pada saat itu bukan amal saleh. Dalam hal ini kita harus menolong orang yang tertabrak itu dengan mengantarkannya ke rumah sakit. Karena jika kita tidak sempat shalat Jum’at, shalat Jum’at itu bisa kita ganti dengan shalat Dzuhur.

Di sini Islam menjunjung tinggi nilai-nilai kemasyarakatan daripada nilai-nilai individual. Lalu ada orang bertanya, “Bukan-kah hak Allah itu yang harus didahulukan daripada hak terhadap sesama?”


Muthahhari menyatakan bahwa orang-orang yang bertanya semacam itu adalah orang-orang yang berpikiran sempit. Dia mengira bahwa hak Allah itu hanya shalat saja, padahal hak Allah juga adalah untuk menolong orang yang membutuhkan pertolongan di dalam waktu yang segera. Jadi amal saleh itu bukan hanya harus sesuai dengan syari’at, tapi juga harus layak dengan pelakunya.

Muthahhari memberi contoh lebih jauh. Misalnya, ada tiga orang yang setelah dicek secara psikologis, yang satu punya bakat sastra, yang kedua berbakat teknik dan yang ketiga berbakat musik. Misalnya orang yang berbakat sastra dia tidak mau masuk jurusan sastra –karena sulit cari kerja- lalu dia memilih teknik, maka memilih teknik bagi orang itu bukan amal saleh; karena tidak sesuai dengan predisposisinya (memaksakan diri untuk sesuatu yang tidak sesuai dengan dirinya).

Sekarang ini dikembangkan sebuah alat ukur. Banyak ditemukan bahwa orang-orang cerdas yang ber-IQ tinggi, hidupnya gagal. Di Amerika hal itu sering terjadi. Para psikolog heran, mestinya orang-orang yang cerdas itu dalam hidupnya berhasil, tetapi ternyata banyak yang gagal.

Persentase orang yang bunuh diri bahkan banyak dilakukan oleh orang-orang yang ber-IQ tinggi. Persentase pengidap sakit jiwa juga didominasi oleh orang-orang yang kecerdasannya tinggi. Setelah mereka selidiki, ternyata bahwa kita salah mengukur kecerdasan itu.

Kita harus mengukur bukan hanya IQ, tetapi juga harus mengembangkan emotional intelegence. Intelegensi emosional ialah kemampuan mengendalikan dirinya atau kemampuan mengendalikan emosinya. Ternyata yang lebih mendorong orang sukses dalam hidup bukan IQ, tetapi emotional intelegence.

Puasa itu bukan melatih IQ, boleh jadi IQ kita ketika berpuasa malah menurun. Tetapi intelegensi emosional kita yang mungkin meningkat kalau kita berpuasa dengan benar. Iman dan amal saleh adalah dua hal yang mengembangkan sifat insaniyah manusia secara individual. Sedangkan tawã shaubil haq wa tawã shaubish shabr (Al-’Ashr 3), adalah dua perilaku yang mengembangkan manusia secara sosial.

Nilai suatu masyarakat juga diukur dari iman dan amal saleh. Masyarakat yang rendah adalah masyarakat yang tidak beriman dan tidak beramal saleh atau masyarakat barbar, masyarakat biadab.

Menurut surat Al-’Ashr ini, kita punya kewajiban bukan hanya mengembangkan sifat insaniyah kita, tetapi juga kewajiban untuk mengembangkan masyarakat insaniyah atau masyarakat yang memiliki sifat kemanusiaan.

Al-Qur’an menyebutkan ada dua cara untuk melatih itu semua, yaitu 1. "tawãshaubil haq." dan 2. "tawã shaubish shabr."

Al-Qur’an tidak mengguna-kan kata tanãshahû (saling memberi nasihat), tetapi Al-Qur’an menggunakan kata “saling memberi wasiat”. Mengapa?

Karena wasiat itu lebih dari sekedar nasihat. Nasihat itu boleh dilaksanakan boleh tidak -mungkin juga boleh didengar atau tidak- tapi kalau wasiat harus didengar dan dilaksanakan.

Pada kata "tawã shau"? Kita bukan hanya subyek, tetapi sekaligus objek. Kita bukan saja yang menerima wasiat, tetap juga yang diberi wasiat. Apa yang harus diwasiat-kan? Al-Haq dan Ash-Shabr.

Sebagaimana iman yang tidak bisa dipisahkan dengan amal saleh, maka Al-Haq tidak bisa dipisahkan dengan Ash-Shabr. Jadi orang tidak dikatakan beriman kalau tidak beramal saleh dan tidak dikatakan membela kebenaran kalau tidak tabah dalam membela kebenaran itu.

Kesimpulannya,
dari surat yang pendek ini Allah mengajarkan kepada kita bahwa kita berada pada tingkat yang rendah atau dalam kerugian apabila kita tidak mengembangkan diri kita dengan iman dan amal saleh. Masyarakat kita juga menjadi masyarakat yang rendah bila kita tidak menegakkan Al-Haq dan Ash-Shabr di tengah-tengah masyarakat kita. (*)

Wallahu A'lam

Sumber :

1. Dari artikel 'Tafsir Surat Al ‘Ashr: Membebaskan Diri Dari Kerugian — Muslim.Or.Id'

2. http://muslim.or.id/al-quran/tafsir-surat-al-ashr-membebaskan-diri-dari-kerugian.html

3. http://kajianislam.wordpress.com/2007/12/04/tafsir-surat-al-%E2%80%99ashr/

4. TAFSIR SURAT AL-’ASHR Menurut MURTADHA MUTHAHHARI Dalam DURUS FIL QUR’ANIL KARIM

0 komentar:

Posting Komentar