Jumat, 13 Januari 2012

KISAH NABI KHIDIR ALAIHISSALAM =)

Di Rangkum oleh :
Fuad Suyatman (Fuad Hasan P. Salman bin Suyatman)
The Craziest and The Most Productive Blogger sekaligus juga
Praktisi Hypnosis solo binaan Ztrongmind -Sebuah Organisasi Hypnosis yang tengah Booming di Blora dan Kota asal Mobil Esemka,Solo

Pendahuluan : Nabi Khidir antara Hidup dan Mati



Banyak kisah-kisah tentang Nabi Khidir yang ramai dibicarakan orang, banyak kontroversi tentang kemunculannya, sehingga hal itu mendorong rasa ingin tahu tentang hakikat sebenarnya. Ada yang menyatakan Nabi Khidir masih hidup, adapula yang menyatakan Khidir sekarang berdiam di sebuah pulau, ada pula yang menyatakan bahwa setiap musim haji Nabi Khidir rutin mengunjungi padang Arafah. Entah khidir siapa dan yang mana? Tapi yang jelas begitulah khurafat dan takhayyul berkembang di tengah masyarakat kita. Lucunya, banyak pula orang-orang yang sangat mempercayai perkara-perkara tersebut.

Semua ini berpangkal dari kesalahpahaman mereka tentang hakekat Nabi Khidir. Terlebih lagi orang-orang ekstrim dari kalangan pengikut tarekat dan tasawwuf yang membumbui berbagai macam dongeng dan cerita bohong tentang Khidir. Sebagian di antara mereka, ada yang mengaku telah bertemu dengan Khidir, berbicara dengannya dan mendapat wasiat dan ilham darinya. Misalnya di tanah air kita ini, ada sebagian orang yang mengaku telah bertemu dengan Khidir dan mengambil bacaan-bacaan shalawat, wirid-wirid dan dzikir dari Khidir secara langsung, tanpa perantara, atau melalui mimpi. Bahkan ada pula yang mengaku dialah Nabi Khidir -Shallallahu ‘alaihi wasallam-. Semua ini adalah keyakinan batil!!

Mengenai hidup atau wafatnya Khidir, orang-orang berselisih. Ada yang menyatakan dia masih hidup. Tetapi ada juga yang menyatakan bahwa dia telah lama meninggal berdasarkan dalil-dalil dari Al-Kitab dan Sunnah. Ini merupakan pendapat para Ahli Hadits. Karena, tidak ada satupun nash yang shahih, baik dari Al-Qur’an dan As-Sunnah yang dapat dijadikan pegangan bahwa Khidir masih hidup. Bahkan banyak dalil yang menyatakan ia telah meninggal.

Jika kita mengadakan riset ilmiah, maka kita akan mendapatkan Al-Qur’an dan Sunnah menjelaskan bahwa Nabi Khidhir telah meninggal dunia.

Al-Allamah Ibnul Jauziy-rahimahullah- berkata, “Dalil yang menunjukkan bahwa Nabi Khidir sudah tidak ada di dunia adalah empat perkara; Al-Qur’an, As-Sunnah, ijma’ (kesepakatan) ulama’ muhaqqiqin, dan dalil aqliy”. [Lihat Al-Manar Al-Munif (hal. 69)]


Di antaranya dalil-dalil itu:

Allah -Ta’ala- berfirman,

وَمَا جَعَلْنَا لِبَشَرٍ مِنْ قَبْلِكَ الْخُلْدَ أَفَإِنْ مِتَّ فَهُمُ الْخَالِدُو

“Kami tidak menjadikan kehidupan abadi bagi seorang manusiapun sebelum kamu (Muhammad). Maka jikalau kamu mati, apakah mereka akan kekal”. (QS.Al-Anbiya`: 34)

Imam Abul Faraj Abdur Rahman Ibnul Jauzy-rahimahullah- berkata, “Khidhir, jika dia itu seorang manusia, maka sungguh ia telah masuk dalam keumuman (ayat) ini tanpa ada keraguan. Seorang tidak boleh mengkhususkannya dari keumuman itu, kecuali dengan dalil yang shahih”. [Lihat Al-Bidayah wa An-Nihayah (1/334), cet. Maktabah Al-Ma’arif]

Kemudian Al-Hafizh Abul Fida’ Ibnu Katsir-rahimahullah- menguatkan ucapan Ibnul Jauziy tadi seraya berkata, “Asalnya memang tidak boleh mengkhususkannya sampai dalil telah nyata. Sementara tidak disebutkan adanya dalil yang mengkhususkannya dari seorang yang ma’shum yang wajib diterima”. [Lihat Al-Bidayah wa An-Nihayah (1/334), cet. Maktabah Al-Ma’arif ]

Allah -Azza wa Jalla- berfirman,

وَإِذْ أَخَذَ اللَّهُ مِيثَاقَ النَّبِيِّينَ لَمَا ءَاتَيْتُكُمْ مِنْ كِتَابٍ وَحِكْمَةٍ ثُمَّ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مُصَدِّقٌ لِمَا مَعَكُمْ لَتُؤْمِنُنَّ بِهِ وَلَتَنْصُرُنَّهُ قَالَ ءَأَقْرَرْتُمْ وَأَخَذْتُمْ عَلَى ذَلِكُمْ إِصْرِي قَالُوا أَقْرَرْنَا قَالَ فَاشْهَدُوا وَأَنَا مَعَكُمْ مِنَ الشَّاهِدِينَ

“Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil perjanjian dari para nabi: “Sungguh, apa saja yang Aku berikan kepadamu berupa kitab dan hikmah, kemudian datang kepadamu seorang rasul yang membenarkan apa yang ada padamu, niscaya kamu akan sungguh-sungguh beriman kepadanya dan menolongnya”. Allah berfirman, “Apakah kamu mengakui dan menerima perjanjian-Ku terhadap yang demikian itu?” Mereka menjawab,“Kami mengakui”. Allah berfirman, “Kalau begitu saksikanlah (hai para nabi) dan Aku menjadi saksi (pula) bersama kamu”. (QS. Al-Imran: 81)

Al-Hafizh Ibnu Katsir menukil dari Ibnu Abbas-radhiyallahu ‘anhu-, ia berkata saat menafsirkan ayat ini, “Allah tidak mengutus seorang nabi di antara para nabi, kecuali Dia mengambil perjanjian padanya. Jika Allah mengutus Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam- sedang nabi itu hidup-, maka ia (nabi itu) betul-betul harus beriman kepada beliau, dan menolongnya”. [Lihat Tafsir Ibnu Katsir (1/565)]

Jika Khidir masih hidup, tentunya ia tidak boleh menunda-nunda keimanannya kepada Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam-. Ia harus mengikuti Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-, berjihad bersamanya dan menyampaikan dakwah beliau. Ini merupakan perjanjian Allah kepada seluruh para nabi dan rasul sebagaimana yang tersebut dalam QS. Al-Imran ayat 81 di atas.

Ini menunjukkan kepada kita bahwa wajib bagi seorang nabi dan rasul untuk menolong dan beriman kepada Rasulullah Muhammad -Shallallahu ‘alaihi wasallam-. Bahkan Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- menegaskan bahwa andaikan Nabi Musa -’alaihis salam-, yang jauh lebih mulia dari Nabi Khidir masih hidup, maka ia harus mengikuti Nabi Muhammad -Shallallahu ‘alaihi wasallam- .

Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,

لَوْ أَنَّ مُوْسَى صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ حَيًّا مَا وَسِعَهُ إِلاَّ أَنْ يَتَّبِعَنِيْ

“Andaikan Musa hidup, tentunya tidak mungkin baginya, kecuali harus mengikutiku”. [HR. Ahmad dalam Al-Musnad (3/387), Ad-Darimiy dalam As-Sunan (1/115), Ibnu Abi Ashim dalam As-Sunnah (5/2), Ibnu Abdil Barr dalam Jami’ Bayan Al-Ilm (2/42), dan lainnya. Hadits ini di-hasan-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Al-Irwa’ (1589)]

Sudah dimaklumi, tidak ada satu pun riwayat shahih ataupun hasan -yang dapat membuat jiwa tenang- menyebutkan bahwa Khidir pernah bertemu dengan Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam-, tidak pula pernah ikut bersama Rasulullah dalam berbagai peperangan.

Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,

مَا مِنْ نَفْسٍ مَنْفُوْسَةٍ الْيَوْمَ تَأْتِي عَلَيْهَا مِائَةُ سَنَةٍ وَهِيَ حَيَّةٌ يَوْمَئِذٍ

“Tidak ada satu jiwa pun yang hidup pada hari ini telah lewat 100 tahun, sedang ia hidup pada hari itu”. [HR. Muslim dalam Shahih- nya (4/1966)]

Allamah Ibnu Baththal-rahimahullah- berkata menerangkan makna hadits ini, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam hanya memaksudkan bahwa dalam jangka waktu ini suatu generasi telah punah”. [Lihat Fathul Bari (1/256) karya Al-Hafizh Ibnu Hajar]

Al-Imam Abu Abdillah Al-Qurthubiy-rahimahullah- berkata dalam Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an (11/41), “Sesungguhnya hadits ini termasuk dalil yang memutuskan tentang kematian Nabi Khidir sekarang”.

Andaikan Nabi Khidir masih hidup, tentu ia akan datang kepada Nabi Muhammad -Shallallahu ‘alaihi wasallam- untuk menyatakan keislamannya dan akan menolong beliau dalam berdakwah dan berperang membela Islam. Tidak mungkin ada seorang Nabi pun yang masih hidup, lantas tidak datang kepada Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- untuk berbai’at, menyatakan keislamannya, dan berjihad bersama beliau.

Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,

اَللَّهُمَّ إِنْ تَهْلِكَ هَذِهِ الْعِصَابَةُ لاَ تُعْبَدْ فِيْ اْلأَرْضِ

“Ya Allah, jika pasukan ini hancur, maka engkau tidak akan disembah lagi dimuka bumi”. [HR. Muslim dalam Kitab Al-Jihad, Bab: Al-Imdad bil Mala’ikah fi Ghazwah Badr (3/1383)]

Syaikhul Islam Ahmad bin Abdil Halim Al-Harraniy-rahimahullah- berkata ketika ditanya tentang hadits di atas, “Andaikan Khidir masih hidup, maka wajib baginya untuk datang kepada Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-, dan berjihad di hadapannya, serta belajar dari beliau (Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-). Sungguh Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda dalam perang Badar, “Ya Allah, jika pasukan ini hancur, maka engkau tidak akan disembah lagi dimuka bumi”. Pasukan kaum muslimin waktu itu sebanyak 313 personil. Telah dikenal nama mereka, nama orang tua, dan qabilah mereka. Lantas dimanakah Khidir pada saat itu?” [Lihat Al-Manar Al-Munif (hal. 68)]

Adapun dalil-dalil berupa hadits-hadits marfu’, dan mauquf yang menyebutkan tentang hidupnya Nabi Khidir sampai hari ini, maka hadits-hadits itu lemah, bahkan palsu, tidak bisa dijadikan hujjah dan dalil dalam menetapkan hukum, apalagi keyakinan (aqidah).

Al-Imam Ibrahim bin Ishaq Al-Harbiy -rahimahullah- berkata, “Tidak ada yang menyebarkan berita-berita seperti ini (yakni tentang hidupnya Khidir) di antara manusia, kecuali setan”. [Lihat Al-Maudhu’at (1/199) dan Ruh Al-Ma’aniy (15/321) karya Al-Alusiy]

Ibnul Munadiy berkata,“Aku telah mengadakan riset tentang hidupnya Khidir, apakah ia masih ada ataukah tidak, maka tiba-tiba kebanyakan orang-orang bodoh tertipu bahwa ia masih hidup karena hadits-hadits (lemah) yang dirwayatkan dalam hal tersebut”. [Lihat Az-Zahr (hal. 38)]

Ibnul Jauziy setelah membawakan beberapa hadits tentang hidupnya Nabi Khidir berkata, “Hadits-hadits ini adalah batil”. [Lihat Al-Maudhu’at (1/195-197)]

Al-Hafizh Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah-rahimahullah- berkata, “Hadits-hadits yang disebutkan di dalamnya tentang Khidir, dan hidupnya, semuanya adalah dusta (palsu). Tidak shahih satu hadits pun tentang hidupnya Nabi Khidir”. [Lihat Al-Manar Al-Munif (hal. 67)]

Seorang ulama Syafi’iyyah, Al-Hafizh Abul Fida’ Ibnu Katsir Ad-Dimasyqiy-rahimahullah- berkata setelah membawakan hadits dan kisah tentang hidupnya Khidir, “Riwayat-riwayat, dan hikayat-hikayat ini merupakan sandaran orang yang berpendapat tentang hidupnya Nabi Khidir sampai hari ini. Semua hadits-hadits yang marfu’ ini adalah dha’if jiddan (lemah sekali), tidak bisa dijadikan hujjah dalam urusan agama”. [Lihat Al-Bidayah wa An-Nihayah (1/334)]

Abul Khaththab Ibnu Dihyah Al-Andalusiy-rahimahullah- berkata, “Tidak terbukti tentang pertemuan Nabi Khidir bersama dengan seorang nabi, kecuali bersama Musa, sebagaimana Allah -Ta’ala- telah kisahkan tentang berita keduanya. Semua berita tentang hidupnya tak ada yang shahih sedikitpun berdasarkan kesepakatan para penukil hadits (ahli hadits). Hal itu hanyalah disebutkan oleh orang yang meriwayatkan berita tersebut, dan tidak menyebutkan penyakitnya, entah karena ia tidak mengetahuinya, atau karena jelasnya penyakit berita tersebut di sisi para ahli hadits”. [Lihat Az-Zahr An-Nadhir (hal. 32)]

Inilah beberapa dalil, dan komentar para ulama, semuanya menyatakan Nabi Khidir tidak hidup lagi atau sudah meninggal. Nyatalah kebatilan orang yang mengaku bertemu dengan Nabi Khidir untuk menerima ajaran di luar ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad -Shallallahu ‘alaihi wasallam-. Bagaimana mungkin Khidir mengajarkan suatu ajaran di luar syari’at Nabi Muhammad -Shalallahu ‘alaihi wasallam-??! Itu pasti bukan Nabi Khidir, tapi setan yang ingin menyesatkan manusia.

ASAL USUL NABI KHIDIR

Dari beberapa riwayat ada beberapa pendapat tentang asal usul Nabi Khidir as, diantara riwayat tersebut adalah :

» Dari Asabath Ibnu Asakir mengatakan bahwa As-Sayyidi berkata: Dia (Khidir) adalah salah seorang putra raja, dia adalah pemuda yang taat beribadah kepada Allah Swt. Pada suatu saat dia melarikan diri dari istana, karena tidak mau dikawinkan oleh orang tuanya dengan seorang gadis pilihan orang tuanya itu dan setelah itu Khidir tidak pernah ditemukan lagi.

» Ditulis dalam kitab Al-Ifrad oleh Dariqutni dan Ibnu Asakir diriwayatkan oleh Ibnu Abbas : "Khidir adalah salah seorang anak cucu Adam yang taat beribadah kepada Allah Swt. dan ditangguhkan ajalnya."

» Ditulis dalam Fathul Bari Juz VI, Al-Bidayah dan Nihayah dan Ruhul Ma'ni Juz XV : Ibnu Khidir berasal dari Romawi dan orang tuanya berasal dari Persia.

» Kata Al-Alussi : Aku tidak membenarkan semua sumber yang menyatakan tentang riwayat asal usul Khidir, tetapi An-Nawawi menyebutkan bahwa Khidir adalah salah seorang putra raja.

Menurut sebagian riwayat mengatakan bahwa Nabi Khidir as adalah sebuah nama julukan yang diberikan kepada hamba Allah yang saleh, sedangkan nama Khidir yang dikisahkan dalam Al-Qur'an ada yang memanggilnya Khadir, Al-Khadir atau Al-Khidir. Ada beberapa riwayat yang mengatakan tentang beberapa kelebihan yang dimiliki oleh hamba Allah yang saleh dan beribadah sehingga hamba itu dipanggil dengan nama "Khidir". Diantara riwayat tersebut adalah :

1. Dari Ibnu Asakir dan para sahabatnya menyatakan dalam suatu riwayatnya: Bahwa hamba Allah itu mendapat gelar "Khidir", karena adanya perubahan warna kehijauan bila dia shalat disuatu tempat dan warna itu dapat menyinari tempat sekitarnya.

2. Dari salah seorang sahabat Nabi Saw. yang bernama Ikrimah meriwayatkan : Dia di gelari Khidir, karena bila dia duduk disuatu tempat maka cahaya itu menyinari tempat sekitar itu dengan warna kehijauan.

3. Dari As-Sayyid berkata: Apabila Khidir berdiri disuatu tempat (tanah lapang) yang gersang, maka tempat dimana kakinya berpijak akan ditumbuhi rumput yang masih segar berwarna hijau tinggi menutupi kedua kakinya.

4. Diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Rasulullah Saw. bersabda : "Jika Khidir duduk diatas tumpukan jerami yang sudah kering, maka jerami tersebut akan berubah hijau kembali."

Sebaik-baik kisah adalah kisah di dalam al Qur’an. Adakah yang lebih indah perkataannya daripada Allah? Jawabannya tentu tidak ada. Karena semua firman-Nya adalah benar adanya, tak terkecuali kisah yang Dia abadikan dalam kitab-Nya, al Qur’an.

Kisah-kisah itu akan selalu memberikan pelajaran tak berkesudahan, semakin dikaji dan dipelajari semakin banyak hikmah dan pelajaran yang bisa didapatkan. Di antara kisah yang memesona kita adalah kisah Nabi Musa yang belajar kepada Khidhir, manusia biasa yang derajatnya di bawah Nabi Musa, karena beliau adalah seorang Nabi, bahkan termasuk salah satu dari Rasul ulul azmi yang lima.

Latar belakang yang membuat Musa belajar lagi, sekalipun beliau adalah seorang Nabi –sebagaimana dalam riwayat Ubay bin Ka’ab, dan tercantum dalam shahih al Bukhari nomor 4725- adalah ketika ada salah seorang dari kaumnya yang bertanya ketika beliau sedang berkhutbah, “Ayyu n-nâsi a’lam, siapakah manusia yang paling berilmu.” Lalu dengan pedenya Nabi menjawab, “Ana, saya.” Kemudian Allah menegurnya karena tidak mengembalikan ilmunya kepada-Nya, dan mewahyukan kepada Nabi Musa bahwa di tempat pertemua dua lautan adalah seorang hamba shalih yang lebih berilmu daripada Nabi Musa.

Akhirnya, Nabi Musa bersama pembantunya, yaitu Yusya’, pergi mengarungi lautan, hanya untuk menambah ilmu yang tidak diketahuinya, sekalipun pada saat itu, posisi beliau sudah menjadi Nabi, dan termasuk Rasul ulul azmi. Adakah kedudukan lagi yang lebih tinggi dari itu?

Kisah perjalanan yang menakjubkan ini pun diabadikan oleh Allah dalam surat al Kahfi ayat 60 sampai 82. Hanya 23 ayat, tetapi pelajaran yang terkandung di dalamnya begitu berharga.

Berikut terjemahan surat al Kahfi ayat 60 sampai 82 tersebut :

18:60. Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada muridnya: “Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua buah lautan; atau aku akan berjalan sampai bertahun-tahun”.

18:61. Maka tatkala mereka sampai ke pertemuan dua buah laut itu, mereka lalai akan ikannya, lalu ikan itu melompat mengambil jalannya ke laut itu.

18:62. Maka tatkala mereka berjalan lebih jauh, berkatalah Musa kepada muridnya: “Bawalah ke mari makanan kita; sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini”.

18:63. Muridnya menjawab: “Tahukah kamu tatkala kita mencari tempat berlindung di batu tadi, maka sesungguhnya aku lupa (menceritakan tentang) ikan itu dan tidak adalah yang melupakan aku untuk menceritakannya kecuali setan dan ikan itu mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh sekali.”

18:64. Musa berkata: “Itulah (tempat) yang kita cari”. Lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula.

18:65. Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.

18:66. Musa berkata kepada Khidhr: “Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?”

18:67. Dia menjawab: “Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku.

18:68. Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?”

18:69. Musa berkata: “Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai seorang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusan pun”.

18:70. Dia berkata: “Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu apa pun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu”.

18:71. Maka berjalanlah keduanya, hingga tatkala keduanya menaiki perahu lalu Khidhr melobanginya. Musa berkata: “Mengapa kamu melobangi perahu itu yang akibatnya kamu menenggelamkan penumpangnya?” Sesungguhnya kamu telah berbuat sesuatu kesalahan yang besar.

18:72. Dia (Khidhr) berkata: “Bukankah aku telah berkata: “Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersama dengan aku”

18:73. Musa berkata: “Janganlah kamu menghukum aku karena kelupaanku dan janganlah kamu membebani aku dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku”.

18:74. Maka berjalanlah keduanya; hingga tatkala keduanya berjumpa dengan seorang anak, maka Khidhr membunuhnya. Musa berkata: “Mengapa kamu bunuh jiwa yang bersih, bukan karena dia membunuh orang lain? Sesungguhnya kamu telah melakukan suatu yang mungkar”.

18:75. Khidhr berkata: “Bukankah sudah kukatakan kepadamu, bahwa sesungguhnya kamu tidak akan dapat sabar bersamaku?”

18:76. Musa berkata: “Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah (kali) ini, maka janganlah kamu memperbolehkan aku menyertaimu, sesungguhnya kamu sudah cukup memberikan uzur padaku”.

18:77. Maka keduanya berjalan; hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka, kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, maka Khidhr menegakkan dinding itu. Musa berkata: “Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu”.

18:78. Khidhr berkata: “Inilah perpisahan antara aku dengan kamu; Aku akan memberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.

18:79. Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera.

18:80. Dan adapun anak itu maka kedua orang tuanya adalah orang-orang mukmin, dan kami khawatir bahwa dia akan mendorong kedua orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran.

18:81. Dan kami menghendaki, supaya Tuhan mereka mengganti bagi mereka dengan anak lain yang lebih baik kesuciannya dari anaknya itu dan lebih dalam kasih sayangnya (kepada ibu bapaknya).

18:82. Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang saleh, maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.”

Faidah dan hikmah kisah Musa belajar kepad Khidhir


Lantas, apa pelajaran yang bisa kita ambil dari kisah dalam surat al Kahfi ayat 60 sampai 82 di atas? Banyak tentunya, berikut ini beberapa faidah penting yang berhasil penulis dapatkan dari Tafsir Taysir al Karîmi r-Rahmân fi Tafsîri Kalâmi l-Mannân, karya Syaikh Abdurrahman bin Nashir bin as Sa’di, dan ditahqiq oleh Abdurrahman bin Ma’la al Luwayhiq. Faidah-faidah berikut ini adalah terjemahan bebas dari penulis, dan apa yang ada di dalam syawlah, tanda kurung ( [ ] ) adalah komentar dari penulis. Semoga bermanfaat.

Inilah faidah dan hikmah yang terkandung kisah Nabi Musa belajar kepada Khidir ‘alaihimas salam :

Memulai dari yang paling penting. Menambah ilmu dan mengajarkan ilmu adalah perkara yang sama-sama penting namun menggabungkan keduanya akan lebih sempurna.

Bolehnya menggunakan khadim (pelayan), baik pada waktu mukim maupun safar, untuk membantu mencukupi kebutuhan.

Bila pemberitahuan kabar bahwa safar yang dimaksudkan untuk mencari ilmu, berjihad atau yang lainnya, itu mengandung maslahat maka hal ini lebih baik daripada menyembunyikannya karena ia akan mempersiapkan perbekalan dan melakukannya berdasarkan ilmu serta menampakkan kemuliaan ibadah yang agung ini sebagaimana perkataan Nabi Musa, { لا أَبْرَحُ حَتَّى أَبْلُغَ مَجْمَعَ الْبَحْرَيْنِ أَوْ أَمْضِيَ حُقُبًا }

Menisbatkan kejelekan dan sebab-sebabnya kepada syetan yang selalu memoles dan menghias sedemikian rupa walaupun sebenarnya semua adalah takdir Allah Ta’ala. Ini sesuai dengan perkataan pemuda yang menemani Nabi Musa,{ وَمَا أَنْسَانِيهُ إِلا الشَّيْطَانُ أَنْ أَذْكُرَهُ }

Seseorang boleh memberitahukan perihal dirinya, baik itu rasa lelah, haus atau lapar selama ia jujur dan tidak menunjukkan perasaan jengkel [dan menggugat takdir Allah]. Ini berdasarkan perkataan Nabi Musa,{ لَقَدْ لَقِينَا مِنْ سَفَرِنَا هَذَا نَصَبًا }

Disunahkan untuk mencari pembantu yang cerdas dan pintar sehingga ia bisa melaksanakan tugasnya dengan baik.

Disunahkan bagi seorang tuan untuk memberikan makanan dari tempat makanannya, dan memakan bersama-sama dengan pembantunya. Karena dhahir dari firman-Nya, { آتِنَا غَدَاءَنَا }, menunjukkan bahwa mereka berdua, Musa dan pembantunya yang bernama Yusya’ makan bersama-sama.

Pertolongan akan turun kepada seorang hamba bila ia sudah melaksanakan sebab-sebab yang diperintahkan kepadanya.

Khidhir bukan seorang Nabi, tetapi hanya sebagai hamba yang shalih karena ia disifati sebagai hamba, dan diberi rahmat dan ilmu oleh Allah Ta’ala. Allah pun tidak menyebutkan risalah dan nubuwah Khidhir. Kalau betul ia seorang Nabi niscaya Allah akan menyebutkannya sebagaimana yang lainnya.

Ucapan Khidhir di akhir kisah, { وَمَا فَعَلْتُهُ عَنْ أَمْرِي }, tidak menunjukkan bahwa ia seorang Nabi. Itu hanyalah ilham sebagaimana orang lain selain para Nabi seperti tercantum dalam firman Allah, { وَأَوْحَيْنَا إِلَى أُمِّ مُوسَى أَنْ أَرْضِعِيهِ } { وَأَوْحَى رَبُّكَ إِلَى النَّحْلِ أَنِ اتَّخِذِي مِنَ الْجِبَالِ بُيُوتًا }

Ilmu yang diajarkan oleh Allah ada dua; ilmu yang didapatkan sesuai dengan usaha manusia, dan ilmu yang berasal langsung dari Allah yang diberikan kepada hamba yang dikehendaki-Nya [seperti firman Allah, “Wattaqullâha wa yu’allimukumullâh, bertakwalah kalian kepada Allah niscaya Dia akan mengajari kalian, maka berlandaskan pada ayat ini, para ulama memerintahkan kita untuk senantiasa bertakwa kepada Allah, karena takwa merupakan sarana terpenting mendapatkan ilmu-Nya, tentu ini karena Dia lah yang akan langsung mengajarinya, tanpa perantara].

Adab seseorang yang ingin belajar adalah dengan berkata lembut kepada gurunya. Ini dicontohkan oleh Nabi Musa, { هَلْ أَتَّبِعُكَ عَلَى أَنْ تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْدًا }, Maknanya, Nabi Musa meminta persetujuan Khidhir; apakah beliau diizinkan untuk ikut atau tidak bila beliau ingin belajar darinya.

Ketawadhuan orang yang lebih mulia kepada orang yang berada di bawahnya, karena kedudukan Nabi Musa lebih tinggi daripada Khidhir.

Orang berilmu yang utama hendaknya mempelajari perkara yang tidak dikuasainya kepada ahlinya walaupun ia berderajat di bawahnya. Nabi Musa adalah rasul ulul azmi yang dikaruniai banyak ilmu namun dalam masalah khusus yang hanya diilmui oleh Khidhir, beliau bersemangat untuk mengetahuinya.

Menganggap ilmu sebagai karunia milik Allah dan bersyukur kepada-Nya atas karunia tersebut, Ini sesuai dengan firman-Nya, { تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ }

Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang menunjukkan kepada kebaikan. Hal ini sesuai dengan firman Allah, { أَنْ تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْدًا }

Orang yang tidak memiliki kekuatan sabar ketika bersahabat dengan ilmu dan orang yang berilmu akan melenyapkan banyak ilmu. Siapa tidak memiliki kesabaran, ia tak kan pernah mendapat ilmu. Sedangkan orang yang sabar akan mengetahui perkara yang ingin diketahuinya.

Sebab terbesar seseorang bisa sabar adalah ia menguasai ilmu terhadap perintah yang diperintahkan kepada kita untuk bersabar menjalaninya. Kalau dia tidak mengetahui tujuan, buah dan faedahnya maka ia belum mempunyai sebab sabar, sehingga dikatakan, { وَكَيْفَ تَصْبِرُ عَلَى مَا لَمْ تُحِطْ بِهِ خُبْرًا }, bagaimana kamu bersabar sedangkan kamu tidak memiliki ilmu tentangnya? Jadi, tidak sabar itu ada karena tidak mengilmuinya.

Perintah untuk bersikap hati-hati dan tidak tergesa-gesa, serta tidak langsung memvonis sehingga dia mengetahui duduk perkara permasalahan, dan juga tujuannya.

Berkaitan dengan masyi’ah (keinginan) seorang manusia terhadap masalah-masalah yang akan datang, hendaknya ia tidak mengucapkan, “Aku pasti akan melakukannya besok” tapi hendaknya ia berkata, “Insya’Allah” [kita juga belajar hal ini dari kisah ashhabul jannah, pemilik kebun, yang mendapati kebunnya terbakar habis karena niat hati ingin memanen tanpa berucap insyaAllah –lih. Surat al Qalam: 28, “Qâla awsathuhum alam aqul lakum law lâ tusabbihun” makna tusabbihûn dalam ayat ini, menurut Mujahid, as Sudi dan Ibnu Juraij yang disebutkan oleh Ibnu Katshir dalam tafsirnya adalah tastatsnûn, berucap insyaAllah].

Berazzam untuk melakukan sesuatu tidaklah menduduki perbuatan tersebut. Ini terlihat ketika Musa mengatakan, “{ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ صَابِرًا }. Dia meyakinkan bahwa dirinya pasti sabar dan tidak bertanya tapi ternyata tidak demikian.

Seorang mu’allim boleh menghentikan muridnya untuk bertanya terlebih dahulu bila ditengarai ada maslahat di sana, seperti pertanyaan yang terlalu detail tentang masalah yang belum saatnya untuk diketahui atau belum bisa dinalar oleh muridnya, atau malah pertanyaanya tidak ada sangkut pautnya dengan pembahasan.

Bolehnya mengarungi lautan, bila yakin aman.

Orang yang terlupa tidak diminta pertanggungjawaban dan tidak dihukum; baik berkaitan dengan hak Allah, apalagi hak manusia berdasarkan firman Allah, { لا تُؤَاخِذْنِي بِمَا نَسِيتُ }

Hendaknya seorang manusia memiliki sifat pemaaf dan toleransi antar sesama. Dan tidak membebani manusia di luar kemampuannya, atau pun memberatkan mereka.

Semua perkara itu dihukumi berdasarkan dhahirnya, termasuk urusan duniawi semisal masalah darah, harta, kehormatan dan yang lainnya juga berkaitan erat dengan dhahirnya.

Tentang anak kecil yang dibunuh oleh Khidhir juga mengandung kaidah agung dalam islam, yaitu memilih mafsadat yang lebih ringan. Terbunuhnya anak kecil tersebut adalah sebuah mafsadat; melayangnya nyawa jiwa manusia. Namun kalau dibiarkan hidup hingga dewasa, kelak ia akan memfitnah orang tuanya sehingga mereka murtad. Walaupun seandainya anak tersebut dibiarkan hidup terlihat seolah sebuah kebaikan namun keimanan kedua orang tuanya jauh lebih baik. [kaidah ini merupakan salah satu kaidah fikih terpenting ketika harus memprioritaskan salah satu dari dua pilihan, yaitu “Idzâ ta’âradhat mafsadatâni zûiya a’zhamuhuma dhararan bi r-tikâbi akhaffihima, apabila ada dua kerusakan saling berlawanan maka yang diperhatikan adalah yang lebih besar bahayanya dengan melakukan yang lebih ringan bahayanya”, dan kaidah “Yukhtâru ahwanu sy-syarrain, memilih keburukan yang paling ringan.”, dan juga kaidah, “adh dhararu l-asyaddu yuzâlu bi dh-dharari l-akhaff, bahaya yang lebih berat dihilangkan dengan bahaya yang lebih ringan. –terlebih menjaga dien lebih diutamakan daripada menjaga jiwa, dan juga yang lainnya baik akal, nasab (atau kehormatan) dan harta].

Ada kaidah agung, “Mempergunakan harta orang lain itu diperbolehkan bila mengandung maslahat dan menghilangkan mafsadat, walaupun tanpa izin pemiliknya dan itu mengakibatkan hilangnya (atau rusaknya) sebagian harta tersebut.” Sebagaimana yang dilakukan Khidhir ketika ia melobangi perahu orang lain agar tidak dirampas oleh raja yang zhalim. Oleh karenanya ketika ada yang kebakaran, sebagian rumah boleh dirobohkan bila dengan hal itu rumah-rumah yang lain bisa diselamatkan, bahkan ini disyariatkan.

Bekerja di lautan diperbolehkan sebagaimana bekerja di daratan sebagaimana firman-Nya, “Ya’malûna fi l-bahri, Mereka bekerja di lautan.” dan pekerjaan mereka tidak diingkari;

Orang miskin terkadang masih memiliki harta namun tidak mencukupi kebutuhannya. Nama miskin masih melekat padanya karena Allah mengabarkan bahwa mereka adalah orang-orang miskin yang masih memiliki perahu [dari sinilah, para ulama -semisal Ibnu Qudamah dalam al Mughni-, memberikan definisi tentang perbedaan nama fakir dan miskin. Menurutnya, fakir adalah orang yang sama sekali tidak memiliki pekerjaan dan dia tidak mampu memenuhi kebutuhan kesehariannya, berbeda dengan miskin, miskin adalah orang yang masih memiliki pekerjaan tetapi tetap saja ia tidak bisa memenuhi kebutuhan kesehariannya];

Membunuh termasuk dosa besar, berdasarkan firman Allah tentang membunuh seorang anak, “La qad ji’tum syai’an nukran, engkau telah melakukan sesuatu yang mungkar.”

Orang shalih akan dijaga oleh Allah, begitu pula dirinya dan juga anak cucunya [bahkan para mufassir menyebutkan bahwa kedua anak yatim tersebut adalah keturunan ke tujuh dari orang shalih, dan Allah menyebutkan, “Wa kâna abûhumâ shalihân”, dan sama sekali Allah tidak menyebutkan bahwa kedua anak yatim itu shalih];

Berkhidmat kepada orang-orang shalih atau yang semisal dengan mereka lebih utama daripada selainnya karena ia menjadi sebab harta pusaka dua anak yatim tersebut dikeluarkan dan dinding rumahnya ditegakkan, yaitu karena kedua orang tuanya adalah orang shalih;

Belajar beradab bersama Allah, yaitu dengan menisbatkan kejelekan kepada dirinya sendiri; seperti ucapan khidhir, “{ فَأَرَدْتُ أَنْ أَعِيبَهَا }. Sebaliknya, menisbatkan kebaikan kepada Allah seperti ucapan khidhir, { فَأَرَادَ رَبُّكَ أَنْ يَبْلُغَا أَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنزهُمَا رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ } , dan ucapan Nabi Musa, “{ وَإِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِينِ } , dan ucapan jin, { وَأَنَّا لا نَدْرِي أَشَرٌّ أُرِيدَ بِمَنْ فِي الأرْضِ أَمْ أَرَادَ بِهِمْ رَبُّهُمْ رَشَدًا } walaupun sebenarnya itu semua adalah takdir Allah Ta’ala.

Seyogyanya bagi seorang sahabat untuk tidak memisahkan diri dari saudaranya ketika ia melakukan sebuah kesalahan. Hendaknya ia bersikap toleran dan memberikan maaf sebagaimana Khidhir memaafkan Nabi Musa;

Persahabatan akan langgeng bila ada kecocokan, sebaliknya, persahabatan akan terputus karena tidak adanya kecocokan;

Tiga kejadian yang dialami Nabi Musa bersama Khidhir adalah murni takdir Allah melalui perantara hamba-Nya yang shalih. Itu semua dimaksudkan untuk mempelihatkan kasih sayang Allah kepada hamba-hamba-Nya. Allah Maha Mampu menakdirkan sesuatu yang sangat dibenci manusia namun itu baik bagi diennya seperti halnya kisah ghulam yang dibunuh khidhir, dan Dia juga Maha Mampu menakdirkan sesuatu yang sangat dibenci manusia namun sebenarnya itu baik bagi dunianya seperti halnya kisah perahu yang dilubangi oleh Khidhir. Dua contoh ini menjadi pelajaran berharga agar kita senantiasa ridho dan menerima semua takdir-Nya [karena bagaimanapun, Dia yang lebih mengetahui kebaikan bagi hamba-hamba-Nya, dan takdir-Nya adalah pilihan terbaik untuk mereka sekalipun menurut kaca mata manusia hal itu buruk dan sangat menyakitkan. Yakinlah!].


SUMBER
:

1. http://andimuhammadaliblogs.blogspot.com/2011/04/kisah-nabi-khidir-as.html
2. Nabi Khidir antara Hidup dan Mati
3. Buletin Jum’at Al-Atsariyyah Makassar edisi 22 Tahun I

0 komentar:

Posting Komentar