Berinfak Di Jalan Allah
TULISAN INI MERUPAKAN HASIL MODIFIKASI :
H. Fuad Suyatman, Ch. M.
Hypnoblogger, Hypnographolog and Hypnolove Master in
1. King Of Mind
(http://seratdakwah.blogspot.com/2012/04/king-of-mind.html)
2. Ztrongmind
(http://www.ztrongmind.net)
and
3. Relax's Mind
(http://www.facebook.com/groups/288023281266070/)
Surakarta
Bismillahirrohmaanirohiim...
Di antara kunci-kunci rizki lain adalah berinfak di jalan Allah. Pembahasan masalah ini –dengan memohon taufik dari Allah– akan saya lakukan melalui dua poin berikut:
A. Yang Dimaksud Berinfak
Di tengah-tengah menafsirkan firman Allah yang artinya “Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, niscaya Dia akan menggantinya”. (Saba’: 39), Syaikh Ibnu Asyur berkata: “Yang dimaksud dengan infak di sini adalah infak yang dianjurkan dalam agama. Seperti berinfak kepada orang-orang fakir dan berinfak di jalan Allah untuk menolong agama.”[1]
B. Dalil Syar’i Bahwa Berinfak di Jalan Allah Adalah Termasuk Kunci Rizki
Ada beberapa nash dalam Al-Qur’anul Karim dan Al-Hadits Asy-Syarif yang menunjukkan bahwa orang yang berinfak di jalan Allah akan diganti oleh Allah di dunia. Di samping, tentunya apa yang disediakan oleh Allah baginya dari pahala yang besar di akhirat. Di antara dalil-dalil itu adalah sebagai berikut:
Firman Allah:
“Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan maka Allah akan menggantinya dan Dialah Pemberi rizki yang se-baik-baiknya.” (Saba’: 39).
Dalam menafsirkan ayat di atas, Al-Hafizh Ibnu Katsir berkata: “Betapapun sedikit apa yang kamu infakkan dari apa yang diperintahkan Allah kepadamu dan apa yang diperbolehkanNya, niscaya Dia akan menggantinya untukmu di dunia, dan di akhirat engkau akan diberi pahala dan ganjaran, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits…”[2]
Imam Ar-Razi berkata, “Firman Allah: ‘Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan maka Allah akan menggantinya’, adalah realisasi dari sabda Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam : “Tidaklah para hamba berada di pagi hari….” (Al-Hadits). Yang demikian itu karena Allah adalah Penguasa, Maha Tinggi dan Maha Kaya. Maka jika Dia berkata: “Nafkahkanlah dan Aku yang akan menggantinya,’ maka itu sama dengan janji yang pasti ia tepati. Sebagaimana jika Dia berkata: “Lemparkanlah barangmu ke dalam laut dan Aku yang menjaminnya.”
Maka, barangsiapa berinfak berarti dia telah memenuhi syarat untuk mendapatkan ganti. Sebaliknya, siapa yang tidak berinfak maka hartanya akan lenyap dan ia tidak berhak mendapatkan ganti. Hartanya akan hilang tanpa ganti, artinya lenyap begitu saja.
Yang mengherankan, jika seseorang pedagang mengetahui bahwa sebagian dari hartanya akan binasa, ia akan menjualnya dengan cara nasi’ah (pembayaran di belakang), meskipun pembelinya termasuk orang miskin. Lalu ia berkata, hal itu lebih baik daripada pelan-pelan harta itu binasa. Jika ia tidak menjualnya sampai harta itu binasa maka ia akan disalahkan. Dan jika ada orang mampu yang menjamin orang miskin itu, tetapi ia tidak menjualnya (kepada orang tersebut) maka ia disebut orang gila.
Dan sungguh, hampir setiap orang melakukan hal ini, tetapi masing-masing tidak menyadari bahwa hal itu men-dekati gila. Sesungguhnya harta kita semuanya pasti akan binasa. Dan menafkahkan kepada keluarga dan anak-anak adalah berarti memberi pinjaman. Semuanya itu berada dalam jaminan kuat, yaitu Allah Yang Maha Tinggi. Allah berfirman: “Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan maka Dia pasti manggantinya.”
Lalu Allah memberi pinjaman kepada setiap orang, ada yang berupa tanah, kebun, penggilingan, tempat pemandian untuk berobat atau manfaat tertentu. Sebab setiap orang tentu memiliki pekerjaan atau tempat yang daripadanya ia mendapatkan harta. Dan semua itu milik Allah. Di tangan manusia, harta itu adalah pinjaman. Jadi, seakan-akan barang-barang tersebut adalah jaminan yang diberikan Allah dari rizkiNya, agar orang tersebut percaya penuh kepadaNya bahwa bila dia berinfak, Allah pasti akan menggantinya. Tetapi meskipun demikian, ternyata ia tidak mau berinfak dan membiarkan hartanya lenyap begitu saja tanpa mendapat pahala dan disyukuri.[3]
Selain itu, Allah menegaskan janjiNya dalam ayat ini kepada orang yang berinfak untuk menggantinya dengan rizki (lain) melalui tiga penegasan. Dalam hal ini, Ibnu Asyur berkata: “Allah menegaskan janji tersebut dengan kalimat bersyarat, dan dengan menjadikan jawaban dari kali-mat bersyarat itu dalam bentuk jumlah ismiyah dan dengan mendahulukan musnad ilaih (sandaran) terhadap khabar fi’il-nya ( الْخَبَر الْفِعْلِي ) yaitu dalam firmanNya: فَهُوَ يُخْلِفُهُ De-ngan demikian, janji tersebut ditegaskan dengan tiga pene-gasan yang menunjukkan bahwa Allah benar-benar akan me-realisasikan janji itu. Sekaligus menunjukkan bahwa ber-infak adalah sesuatu yang dicintai Allah.[4]
Dan sungguh janji Allah adalah sesuatu yang tegas, ya-kin, pasti dan tidak ada keraguan untuk diwujudkannya, wa-laupun tanpa adanya penegasan seperti di atas. Lalu, bagai-mana halnya jika janji itu ditegaskan dengan tiga penegasan?
Dalil lain adalah firman Allah:
“Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan ke-miskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir); sedang Allah menjanjikan untukmu ampunan daripada-Nya dan karunia. Dan Allah Maha Luas (karuniaNya) lagi Maha Mengetahui.” (Al-Baqarah: 268).
Menafsirkan ayat mulia ini, Ibnu Abbas Radhiallaahu anhu berkata: “Dua hal dari Allah, dan dua hal dari setan. “Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan.” Setan itu berkata, ‘Jangan kamu infakkan hartamu, peganglah untukmu sendiri karena kamu membutuhkannya’. “Dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir).”
(Dan dua hal dari Allah adalah), “Allah menjanjikan untukmu ampunan daripadaNya,” yakni atas maksiat yang kamu kerjakan, “dan karunia” berupa rizki.[5]
Al-Qadhi Ibnu Athiyah menafsirkan ayat ini berkata: “Maghfirah (ampunan Allah) adalah janji Allah bahwa Dia akan menutupi kesalahan segenap hambaNya di dunia dan di akhirat. Sedangkan al-fadhl (karunia) adalah rizki yang luas di dunia, serta pemberian nikmat di akhirat, dengan segala apa yang telah dijanjikan Allah Subhannahu wa Ta'ala .[6]
Imam Ibnu Qayim Al-Jauziyah dalam menafsirkan ayat yang mulia ini berkata: “Demikianlah, peringatan setan bahwa orang yang menginfakkan hartanya, bisa mengalami kefakiran bukanlah suatu bentuk kasih sayang setan kepadanya, juga bukan suatu bentuk nasihat baik untuknya. Adapaun Allah, maka Ia menjanjikan kepada hambaNya ampunan dosa-dosa daripadaNya, serta karunia berupa penggantian yang lebih baik daripada yang ia infakkan, dan ia dilipatgandakanNya baik di dunia saja atau di dunia dan di akhirat.”[7]
Dalil lain adalah hadits riwayat Muslim dari Abu Hurairah Radhiallaahu anhu , Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam memberitahukan kepadanya:
“Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman, ‘Wahai anak Adam!, berinfaklah, niscaya Aku berinfak (memberi rizki) kepadaMu.”[8]
Allahu Akbar! Betapa besar jaminan orang yang berinfak di jalan Allah! Betapa mudah dan gampang jalan mendapat-kan rizki! Seorang hamba berinfak di jalan Allah, lalu Dzat Yang di TanganNya kepemilikan segala sesuatu memberi-kan infak (rizki) kepadanya. Jika seorang hamba berinfak sesuai dengan kemampuannya maka Dzat Yang memiliki perbendaharaan langit dan bumi serta kerajaan segala se-suatu akan memberi infak (rizki) kepadanya sesuai dengan keagungan, kemuliaan dan kekuasaanNya.
Imam An-Nawawi berkata: “Firman Allah, ‘Berinfaklah, niscaya Aku berinfak (memberi rizki) kepadamu’ adalah makna dari firman Allah dalam Al-Qur'an:
“Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan maka Dia-lah yang akan menggantinya.” (Saba’: 39).
Ayat ini mengandung anjuran untuk berinfak dalam berbagai bentuk kebaikan, serta berita gembira bahwa semua itu akan diganti atas karunia Allah Subhannahu wa Ta'ala .[9]
Dalil lain bahwa berinfak di jalan Allah adalah di antara kunci-kunci rizki yaitu apa yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dari Abu Hurairah Radhiallaahu anhu bahwasanya Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda:
“Tidaklah para hamba berada di pagi hari kecuali di dalamnya terdapat dua malaikat yang turun. Salah satunya berdo’a, ‘Ya Allah, berikanlah kepada orang yang berinfak ganti (dari apa yang ia infakkan)’. Sedang yang lain berkata, ‘Ya Allah, berikanlah kepada orang yang menahan (hartanya) kebinasaan (hartanya)’.” [10]
Dalam hadits yang mulia ini, Nabi yang mulia e mengabarkan bahwa terdapat malaikat yang berdo’a setiap hari kepada orang yang berinfak agar diberikan ganti oleh Allah. Maksudnya –sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Mulla Ali Al-Qari– adalah ganti yang besar. Yakni ganti yang baik, atau ganti di dunia dan ganti di akhirat. Hal itu berdasarkan firman Allah:
“Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan maka Dia-lah yang akan menggantinya. Dan Dialah sebaik-baik Pemberi rizki.” (Saba’: 39).[11]
Dan diketahui secara umum bahwa do’a malaikat adalah dikabulkan[12], sebab tidaklah mereka mendo’akan bagi seseorang melainkan dengan izinNya. Allah berfirman:
“Dan mereka tiada memberi syafa’at melainkan kepada orang yang diridhai Allah, dan mereka itu selalu berhati-hati karena takut kepadaNya.” (Al-Anbiya’: 28).
Dalil lain adalah apa yang diriwayatkan oleh Imam Al-Baihaqi dari Abu Hurairah Radhiallaahu anhu bahwasanya Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda:
“Berinfaklah wahai Bilal! Jangan takut dipersedikit (hartamu) oleh Dzat Yang Memiliki Arsy.” [13]
Aduhai, alangkah kuat jaminan dan karunia Allah bagi orang yang berinfak di jalanNya! Apakah Dzat Yang Memiliki Arsy akan menghinakan orang yang berinfak di jalanNya, sehingga ia mati karena miskin dan tak punya apa-apa? Demi Allah, tidak akan demikian!
Al-Mulla Ali-AlQari menjelaskan kata “ اِقْلاَ لاً ”dalam hadits tersebut berkata, ‘Maksudnya, dijadikan miskin dan tidak punya apa-apa’. Artinya, ‘Apakah engkau takut akan disia-siakan oleh Dzat Yang Mengatur segala urusan dari langit ke bumi?’ Dengan kata lain, ‘Apakah kamu takut untuk digagalkan cita-citamu dan disedikitkan rizkimu oleh Dzat Yang rahmat-Nya meliputi penduduk langit dan bumi, orang-orang mukmin dan orang-orang kafir, burung-burung dan binatang melata?’[14]
Berapa banyak bukti-bukti dalam kitab-kitab Sunnah (Hadits), Sirah (Perjalanan Hidup), Tarajum (Biografi), Tarikh (Sejarah), bahkan hingga dalam kenyataan-kenyataan yang kita alami saat ini yang menunjukkan bahwa Allah mengganti rizki hambaNya yang berinfak di jalanNya.
Berikut ini kami ringkaskan satu bukti dalam masalah ini. Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiallaahu anhu dari Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam beliau bersabda:
“Ketika seorang laki-laki berada di suatu tanah lapang bumi ini, tiba-tiba ia mendengar suara dari awan, ‘Siramilah kebun si fulan!’ Maka awan itu berarak menjauh dan menuangkan airnya di areal tanah yang penuh de-ngan batu-batu hitam. Di sana ada aliran air yang me-nampung air tersebut. Lalu orang itu mengikuti kemana air itu mengalir. Tiba-tiba ia (melihat) seorang laki-laki yang berdiri di kebunnya. Ia mendorong air tersebut dengan skopnya (ke dalam kebunnya). Kemudian ia ber-tanya, ‘Wahai hamba Allah! Siapa namamu?’ Ia menja-wab, ‘Fulan’, yakni nama yang didengar di awan. Ia balik bertanya, “Wahai hamba Allah, kenapa engkau menanyakan namaku?’ Ia menjawab, ‘Sesungguhnya aku mendengar suara di awan yang menurunkan air ini. Suara itu berkata, ‘Siramilah kebun si fulan! Dan itu adalah namamu. Apa sesungguhnya yang engkau laku-kan?’ Ia menjawab, “Jika itu yang engkau tanyakan, maka sesungguhnya aku memperhitungkan hasil yang didapat dari kebun ini, lalu aku bersedekah dengan se-pertiganya, dan aku makan beserta keluargaku seper-tiganya lagi, kemudian aku kembalikan (untuk menanam lagi) sepertiganya’.” [15]
Dalam riwayat lain disebutkan:
“Dan aku jadikan sepertiganya untuk orang-orang miskin dan peminta-minta serta ibnu sabil (orang yang dalam perjalanan).” [16]
Imam An-Nawawi berkata: “Hadits itu menjelaskan tentang keutamaan bersedekah dan berbuat baik kepada orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan. Juga keutamaan seseorang yang makan dari hasil kerjanya sen-diri, termasuk keutamaan memberi nafkah kepada keluarga.”[17]
SUMBER:
A. http://pembinaanpribadi.blogspot.com/2011/11/berinfak-di-jalan-allah.html
B. http://www.alsofwah.or.id/index.php?pilih=lihatkajian&parent_id=493&parent_section=kj017&idjudul=1, LALU....
[1] Tafsirut Tahrir wat Tanwir, 22/221.
[2] Tafsir Ibnu Katsir, 3/595. Lihat pula, Tafsirut Tahrir wat Tanwir, di mana di dalamnya disebutkan, “Secara lahiriah, ayat itu menunjukkan adanya penggantian rizki, baik di dunia maupun di akhirat.” (22/221).
[3] At-Tafsir Al-Kabir, 25/263.
[4] Tafsirut Tahrir wat Tanwir, 22/221.
[5] Tafsir Ath-Thabari, no. atsar 6168, 5/571. Lihat pula, At-Tafsirul Kabir, 7/65, Tafsirul Khazin, 1/290. Di mana disebutkan di dalamnya: “Ampunan (yang diberikan) merupakan isyarat terhadap manfaat-manfaat akhirat dan karunia adalah isyarat terhadap manfaat-manfaat dunia berupa rizki dan ganti.”
[6] Al-Muharrarul Wajiz, 2/329.
[7] At-Tafsirul Qayyim, hal. 168. Lihat pula, Fathul Qadir oleh Asy-Syaukani, 1/438, di mana ia berkata, “Fadhl (karunia) itu adalah bahwa Allah akan mengganti kepada mereka dengan sesuatu yang lebih utama dari apa yang mereka infakkan. Maka Allah meluaskan rizkinya dan memberinya nikmat di akhirat dengan sesuatu yang lebih utama, lebih banyak, lebih agung dan lebih indah.”
[8] Shahih Muslim, kitab Az-Zakah, bab Al-Hatstsu ‘alan Nafaqah wa Tabsyiril Munfiq bil Khalf, no. 36 (993), 2/690-691.
[9] Syarh An-Nawawi, 7/79.
[10] Shahihul Bukhari, Kitab Az-Zakah, Bab Firman Allah:
Tentang do’a: “Ya Allah, berikanlah ganti kepada orang yang menginfakkan hartanya,” no. 1442, 3/304.
[11] Murqatil Mafatih, 4/366. Sayyid Muhammad Rasyid Ridha berkata: “Makna do’a ini menurut saya adalah bahwa di antara sunnah-sunnah Allah adalah Dia memberikan ganti kepada orang yang berinfak dengan memudahkan sebab-sebab rizki baginya. Lalu ia ditinggikan derajatnya di dalam hati manusia. Sebaliknya, orang yang bakhil (kikir) diharamkan dari yang demikian.” (Tafsir Manar, 4/74).
[12] Umdatul Qari, 8/307.
[13] Diriwayatkan dari Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman. (Misykatul Mashabih, Kitab Az-Zakah, Bab Al-Infak wa Karahiyatul Imsak, no. 1885, dengan diringkas, 1/590-591). Syaikh Al-Albani berkata, ‘Hadits ini shahih karena jalur-jalurnya,’ (Hamisy Misykatil Mashabih, 1/591). Lihat pula, Majma’uz Zawa’id wa Manba’ul Fawa’id, 3/126, Kasyful Khafa’wa Muzilul Ilbas, 1/243-144, Tanqihur Ruwat fi Takhriji Ahaditsil Misykat, Syaikh Ahmad Hasan Adalah-Dahlawi, 2/19.
[14] Murqatul Mafatih, 4/389.
[15] Shahih Muslim, Kitab Az-Zuhd war Raqa’iq, Bab Ash Shadaqah alal Masakin, no. 45 (2984), 4/2288.
[16] Op. cit., 4/2288.
[17] Op. cit., 18/115.
materi ini juga bisa dilihat dalam situs :
0 komentar:
Posting Komentar