Sabtu, 26 Mei 2012

Belajar Leadership Mentality Dari Sosok Seorang Josep "Pep" Guardiola

Tulisan ini ditulis dan dimodifikasi Oleh :
Fuad Suyatman, Ch. M
Hypnoblogger, Hypnographolog and Hypnomotivator in
King Of Mind (http://seratdakwah.blogspot.com/2012/04/king-of-mind.html)
Ztrongmind (http://www.ztrongmind.net)
and
Relax's Mind (http://www.facebook.com/groups/288023281266070/)


Dan akhirnya?

Usai sudah masa pengabdian seorang Josep 'Pep' Guardiola. Diakhir petualangannya selama empat tahun di Barcelona, pria 41 tahun ini pun memberikan 'bingkisan kado terakhir' untuk klub yang telah melambungkan namanya di jagad kepelatihan ini. Ya... semalam -Sabtu (26/5)- ia telah menuntaskan segalanya dengan membawa Leonel Messi, dkk juara Copa del Rey musim 2011/12, setelah menang 3-0 atas peraih 23 gelar Copa Del Rey, Atletic de Bilbao di final.

Dalam konferensi pers jelang pertandingan tersebut, Guardiola mengaku bangga dengan apa yang sudah dia raih selama empat musim di Camp Nou. Tapi di samping prestasi hebat yang didapat, Guardiola menyadari kalau dirinya juga telah membuat banyak kesalahan.

"Saat sebuah musim berakhir, Anda akan menengok ke belakang untuk melihat apakah segalanya berjalan baik atau Anda justru melakukannya dengan jalan yang berbeda. Sejak hari pertama bertugas, saya belajar kalau saya bisa membuat kesalahan," sahut Guardiola seperti diberitakan ESPNStar.

"Saya merasakan banyak penyesalan, tapi..itu adalah bagian dari proses belajar. Saya tidak menyesal dengan bagaimana kami melakukan banyak hal, meski saya merasa kalau saya akan merindukan ini," lanjut dia.

Empat tahun membesut Barcelona, Josep Guardiola mempersembahkan 13 trofi juara. Khusus di Liga Spanyol, dia menjalani 151 pertandingan, dengan meraih 116 kemenangan, 24 hasil imbang dan cuma 11 kali kalah.

Sekelumit Kisah Petualangan Pep Guardiola Di Barcelona


Josep 'Pep' Guardiola sendiri ditunjuk melatih Barca pada musim 2008/2009. Seperti sudah dituntun oleh takdir, ia memenangi trofi pertamanya bersama Los Cules dengan menjuarai Copa del Rey dan menutupnya dengan raihan trofi yang sama. Yang unik, lawannya pun sama, yakni Athletic Bilbao.

Di tangan seorang Pep Guardiola, Barca kemudian dikenal luas lantaran tampil sebagai tim yang penuh kelugasan dalam memainkan sepakbola dengan ball possession tinggi dan operan satu-dua yang cepat. Gaya main ini membuat Barca mendominasi La Liga dari 2009 hingga 2011, plus mendapatkan dua trofi Liga Champions.

Namun seiring perputaran roda waktu, segalanya pun akhirnya harus berakhir. Diawali dengan rentetan hasil yang 'kurang memuaskan'ditengah tengah menurun yang klimaksnya kemudian berujung pada kekalahan mereka dalam perebutan gelar juara La Liga Spanyol dari Real Madrid hingga kekalahan mereka di semifinal Liga Champions dari Chelsea -yang akhirnya menjadi kampiun Champions League musim ini- seolah sudah menjadi isyarat yang cukup jelas baginya bahwa memang sudah waktunya bagi seorang Josep Guardiola untuk mengambil jeda yang panjang.

Tetapi ada hal yang cukup menarik yang kemudian bisa kita ambil pelajaran dari fenomena mundurnya Josep Guardiola dari kursi yang sudah empat tahun di dudukinya itu. Selaku entrenador (pelatih) yang bertanggung jawab penuh dalam memimpin para pasukannya di lapangan, Pep Guardiola seolah telah menyadari bahwa dari serangkaian hasil tak memuaskan itu, ia merasa bahwa memang sudah tiba waktu bagi dirinya untuk mengakhiri segala yang telah ia lakukan untuk kemudian mengalihkan kepemimpinan sebagai manajer tim Barcelona kepada orang lain yang tentu saja memiliki kualitas dan kapabilitas yang tak kalah meyakinkan.

Dan belajar dari fenomena Josep Guardiola dari kursi kepelatihan El Barca sendiri rasanya memang tak perlu ada lagi lah guncangan dari luar untuk memaksa Pep Guardiola mundur dari tampuk kepemimpinan tertinggi para punggawa El Barca. Bahkan, meski Presiden Klub Barca Sandro Rosell masih tetap memuji kepemimpinannya maupun kerja keras Messi dkk, Pep Guardiola tetaplah ngotot untuk mengundurkan diri.

Pelajaran Berharga dari Seorang Josep Guardiola


Sepakat dengan ulasan menarik dari seorang sahabat di situs http://blog.tempointeraktif.com/uncategorized/belajar-dari-kepemimpinan-pep-guardiola/, rasanya cukuplah sulit Bagi siapapun yang menempati posisi penting plus dengan keleluasaan dan kewenangan besar yang ada padanya untuk kemudian dengan kelapangan hati memutuskan untuk mencontoh dan meniru sikap dan keputusan seorang Pep Guardiola.

Ya, di tengah Banyaknya orang yang menginginkan jabatan ini dan itu karena berbagai alasan, fenomena mundurnya seorang Pep Guardiola rasanya merupakan contoh yang cukup berharga bagi pihak manapun di negeri yang sayangnya masih banyak yang lebih mementingkan gengsi plus materi ketimbang prestasi. Hasilnya jelas!! Banyaknya pihak-pihak yang kemudian menjadi sosok 'bermuka badak' lantaran enggan mundur kendati kinerjanya terbukti buruk pun telah terbukti menjadi salah satu sebab mengapa negeri ini masih saja betah berada di zona keterpurukan.

Namun memang untuk menjadi sosok pemimpin yang gentlemant yang mau dan mampu mengakui kelemahan dan kejelekan kinerja dan kualitas kepemimpinannya itu, dibutuhkan keberanian untuk mengevaluasi diri. Dan salah satu bentuk pertanggungjawaban plus bukti betapa gentleman-nya seorang pemimpin adalah manakala ia berani mengatakan : "I was failed. And i want to finished my job. But, Change me with a man who has a capability and also quality more than i am."

("Dan memang saya akui saya telah gagal. Maka (untuk mempertanggungjawabkan kesalahan saya?) ijinkan saya untuk berhenti sampai di sini. Tetapi saya ingin kalian mencari pengganti saya. Yakni seseorang yang tentunya memiliki kemampuan dan juga kualitas yang (jauh) melebihi saya)"

Ya.. cara paling elegan ketika kita menyadari bahwa kita telah berada disebuah titik dimana kita merasa tak mampu lagi berbuat maksimal untuk kemajuan team dan organisasi kita memang hanya ada dua hal: (1)Mengundurkan diri, dan (2) mencari pengganti yang jauh lebih baik.

Adapun dalam konteks ini, yang dikatakan mengundurkan diri bukanlah sebuah bentuk pengakuan atas kekalahan kita, melainkan kesadaran bahwa suatu ketika seseorang mencapai titik keletihan yang sukar ditoleransi setelah menjalani kerja yang padat dan menegangkan. Bila tetap bertahan, situasinya berpotensi menjadi jauh lebih buruk. Ketimbang terus merosot, maka keputusan untuk mengundurkan diri bisa jadi adalah sebuah langkah yang cukup bijak. Dan rasanya Pep Guardiola sudah mencontohkan hal itu dengan memutuskan untuk menyerahkan tongkat manajer tim kepada asistennya, Tito Vilanova. Dan rasanya sejauh ini, pelajaran akan bagaimana cara mensikapi amanah berupa kepercayaan untuk menjadi figur pemimpin yang baik rasanya telah ditunjukkan oleh Pep Guardiola -sang entrenador muda Barcelona-. Ya, disaat banyak orang masih menginginkannya sebagai pemimpin para punggawa Barcelona, namun lantaran ia merasa telah lelah dan gagal mempertahankan kualitas 'negeri kecilnya' (dalam hal ini ialah team FC Barcelona)? Ia pun tak ragu untuk memutuskan sesuatu yang mungkin amat berat bagi pemimpin manapun : mundur dari gelanggang dengan terhormat.

sumber :
1. http://wartamalang.com/2012/05/guardiola-saya-tak-pernah-ingin-masuk-sejarah/
2. http://www.tempo.co/read/news/2012/05/26/099406258/Ke-Mana-Guardiola-Berlabuh-Liverpool-atau-Chelsea
3. http://id.olahraga.yahoo.com/news/pep-guardiola-saya-coba-belajar-dari-marcelo-bielsa-034000351--soccer.html
4. http://www.taruhanku.com/news/2339/MALAM-TERAKHIR-PEP-GUARDIOLA-BERSAMA-BARCA
5. http://blog.tempointeraktif.com/uncategorized/belajar-dari-kepemimpinan-pep-guardiola/
6. http://sport.detik.com/sepakbola/read/2012/05/26/112628/1925367/75/memori-bagi-pep-memori-bagi-barca?b99220270
7. http://sport.detik.com/sepakbola/read/2012/05/26/101119/1925339/75/14-trofi-dalam-4-tahun-guardiola-pun-puas?b99220270

0 komentar:

Posting Komentar