Teror Bom : Sebuah Peringatan Tentang Pentingnya Pembelajaran Hukum Kecerdasan Emosional
Oleh : Fuad Hasan P. Salman
Ketika semua elemen masyarakat ramai menyalahkan pemerintah yang kerap “kecolongan” dalam kasus terror bom yang terjadi di Indonesia, saya sendiri menilai ada hal lain yang justru layak untuk dikaji bersama berkenaan dengan fenomena terror yang hampir satu dasawarsa ini selalu akrab dengan negerinya Wiro Sableng ini. Hal ini terutama berkait dengan pemahaman akan hukum kecerdasan emosional yang ternyata memegang peran yang tidak kecil guna menghindarkan masyarakat dari ancaman dan teror serupa dimasa datang.
Dalam perkembangannya, keberadaan hukum kecerdasan emosional memang seringkali terabaikan dalam perjalanan kehidupan manusia modern. Namun menanggapi hal itu, seringkali manusia justru merasa bahwa tersisihnya aspek emosional dalam tataran kehidupan manusia merupakan sesuatu hal yang sangat lumrah mengingat iklim kehidupan manusia modern yang memang semakin terdominasi dengan segala sesuatu yang bersifat rasional dan logis saja. Hal inilah yang kemudian menjadikan manusia modern sekarang ini jika ditinjau dari sisi emosional dan spiritual justru mengalami kemunduran yang teramat sangat jika dibandingkan dengan apa yang terjadi pada masa kenabian Muhammad SAW yang berlanjut hingga masa pemerintahan sahabat.
Pada masa kenabian Muhammad SAW serta pada masa pemerintahan Khullafaurrasyidin , pemberdayaan hukum yang didalamnya juga mengakomodir kecerdasan emosional dan spiritual merupakan sesuatu yang wajib dilakukan mengingat Nabi Muhammad sendiri pernah menandaskan dalam salah satu sabdanya bahwa keberadaan Beliau di muka bumi ini memang tiada lain adalah untuk menyempurnakan akhlak manusia. “Tiadalah Aku (Nabi Muhammad) diutus ke muka bumi ini melainkan untuk menyempurnakan akhlak manusia.”
Berkaca dari hadist diatas sesungguhnya dapat disimpulkan pula betapa Islam adalah agama yang begitu menjunjung tinggi nilai-nilai hokum yang berkenaan dengan pemberdayaan bahkan penguatan aspek – aspek kecerdasan emosional dan spiritual. Maka dari itu untuk mendapatkan predikat sebagai muslim yang kaffah, seorang muslim seyogyanya mampu memposisikan dirinya sebagai makhluk yang memiliki keseimbangan antara orientasi dunia maupun akhiratnya.
Meminjam istilah DR Ali Shariati-seorang inteletual muslim terkemuka- beliau menyatakan bahwa : manusia adalah sosok makhluk dua dimensi yang membutuhkan penyelarasan alam kebutuhan dan kepentingan dunia dan akherat. Dan disinilah terlihat betapa pemahaman dan penerapan kaidah hokum kecerdasan emosional menjadi sebuah syarat penting bagi terciptanya kondisi masyarakat yang ideal, yakni masyarakat yang didalamnya terkandung aneka nilai dan juga tatanan hokum yang kelak mampu menjamin ketenangan dan ketentraman mereka dalam melakukan aneka aktivitas.
Terjadinya terror bom, bukti lemahnya pemahaman hukum kecerdasan spiritual
Berbicara mengenai masalah terror bom yang terakhir terjadi di GBIS Kepunton kemarin, menurut penilaian saya hal tersebut terjadi lantaran masih banyaknya masyarakat Indonesia yang belum memahami betapa pengetahuan akan hokum kecerdasan emosional menjadi sesuatu yang wajib ditanamkan dalam diri setiap warga Indonesia untuk menjadikan mereka sosok-sosok yang mampu menelaah aneka informasi yang senantiasa datang setiap harinya.
Di dalam sebuah bukunya, Ary Ginanjar Agustian –seorang pakar ESQ terkemuka Indonesia- menandaskan bahwa manusia adalah makhluk yang perharinya memiliki kemampuan untuk menerima setidaknya 80.000 informasi yang langsung masuk ke otak mereka. Maka dari itu jikalau informasi – informasi tersebut tidak disaring secara bijak, seorang manusia justru akan terlahir sebagai sosok yang mudah untuk terdoktrinasi.
Di sinilah menurut Ary Ginanjar Agustian, keberadaan hokum kecerdasan emosional menjadi sesuatu yang begitu penting mengingat dengan adanya pemahaman akan hokum kecerdasan emosional tersebut, seorang manusia akan secara otomatis memiliki semacam alat penyaring informasi yang kelak akan menjadikan dirinya sebagai sosok yang bijak dalam memahami segala sesuatu. Namun yang patut disayangkan, hal tersebut belum disadari benar oleh sebagian besar masyarakat Indonesia yang seringkali justru lebih tersibukkan dengan hal-hal yang justru melemahkan fungsi hokum kecerdasan emosional mereka, seperti halnya sikap masyarakat Indonesia yang masih kerap menyalahkan pihak lain tatkala terjadi suatu musibah dan bencana. (Fuad)
Referensi :
Ginanjar Agustian, Ari, ESQ : Emotional Spiritual Quotient (The ESQ Way 165 -1 Ihsan, 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam). Jakarta : Penerbit Arga. 2006
0 komentar:
Posting Komentar