Jumat, 16 Desember 2011

Tawakkal


Materi ini di tulis kembali Oleh :
H. Fuad Suyatman, Ch. M.

Hypnoblogger, Hypnographolog and Hypnolove Master in

1. King Of Mind

(http://seratdakwah.blogspot.com/2012/04/king-of-mind.html)

2. Ztrongmind

(http://www.ztrongmind.net
)
and
3. Relax's Mind

(http://www.facebook.com/groups/288023281266070/)

Surakarta

Bismillahirrohmaanirohiim...

TAWAKKAL*
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ


Muqaddimah


Pada suatu saat Rasulullah SAW sedang berada dalam sebuah majlis ta’lim dengan para sahabat beliau, ada seorang yang mendatangi majlis beliau dan membiarkan kendaraannya (onta) lepas tanpa terikat. Dengan santainya orang itu langsung memasuki ruangan seraya bergumam, “saya pasrah pada Allah SWT….

Mendengar gumaman itu Rasulullah SAW langsung menegurnya, “Ikatlah dahulu ontamu lalu berpasrahlah…”.

Sob, tahu gak sih apa sebenarnya maksud ungkapan Rasulullah SAW itu? Rasulullah SAW memerintahkannya supaya mengikat ontanya supaya tidak lepas kemudian baru memasrahkan kepada Allah SWT.

Kisah di atas kemudian oleh para ulama’ dijadikan sebagai dalil untuk membatasi maksud tawakkal.

Makna Tawakkal

Tawakal itu pada dasarnya adalah sikap seseorang untuk membebaskan hati dari segala ketergantungan kepada selain Allah dan menyerahkan keputusan segala sesuatunya kepadaNya. Tawakal ntu sendiri merupakan salah satu buah keimanan, sob.

Setiap orang yang beriman menyadari bahwa semua urusan kehidupan, segala manfaat dan madharat ada di tangan Allah. Dia akan menyerahkan segala sesuatunya kepadaNya dan akan ridha dengan segala kehendakNya. Dia tidak takut menghadapi masa depan, tidak kaget dengan segala kejuatan. Hatinya tenang dan tenteran, karena yakin akan keadilan dan rahmat Allah. Oleh sebab itu Islam menetapkan bahwa iman harus diikuti oleh sikap tawakal. Allah SWT berfirman:

وَعَلَى اللهِ فَتَوَكَّلُوا إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ .

"Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang beriman." (QS. 5:23)

Islam sendiri memandang tawakkal bukan cuman sekedar sikap dimana seseorang bisa seenak hati meninggalkan sebab-sebab atau menyia-nyiakan kerja. Justru Islam mengajarkan agar hidup itu diisi dengan selalu berhati-hati, tepat di dalam memposisikan pengambilan sarana yang dapat mengantarkan pada apa yang dicari atau yang disenangi. Bahkan, tawakkal merupakan bentuk curahan kerja, upaya, dan segenap kemampuan dalam bekerja. Kemudian seiring dengan aktifitasnya dia meyakini dengan sepenuh keimanan dan sedalam kebenaran bahwa Allah SWT senantiasa bersamanya. Dia selalu mengawasi dan menolongnya.

Tawakal sendiri thu harus diawali dengan kerja keras dan usaha maksimal (ikhtiar). Tidaklah dinamai tawakal kalau hanya pasrah menunggu nasib sambil berpangku tangan tanpa melakukan apa-apa. Sikap pasrah seperti itu adalah salah satu bentuk kesalahpahaman terhadap hakikat tawakal.

Syaikh Muhammad Ahmad 'Afif, dalam salah satu khuthbahnya di Masjid al-Azhar Cairo menceritakan bagaimana kesalahpahaman terjadi pada masa Imam Ahmad bin Hambal. Ada seorang yang malas bekerja dan masa bodoh. Ketika beliau bertanya mengenai sikapnya itu ia menjawab:

"Saya telah membaca hadits Rasulullah SAW yang mengatakan:

لَوْ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَوَكَّلُونَ عَلَى اللَّهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرُزِقْتُمْ كَمَا يُرْزَقُ الطَّيْرُ تَغْدُو خِمَاصًا وَتَرُوحُ بِطَانًا (الترمذى)

"Jika saja kamu sekalian bertawakal kepada Allah dengan sepenuh hati niscaya Allah akan memberi rezeki untukmu sekalian, sebagaimana Dia memberinya kepada burung; burung itu pergi dalam keadaan lapar dan pulang dalam keadaan kenyang" (HR.Tirmidzi).

Maka sebab itu saya (Syaikh Muhammad Ahmad 'Afif) tawakal kepada Dzat yang memberi rezeki kepada burung itu.
Imam Ahmad lalu mengatakan:

"Kamu belum mengerti maksud hadits tersebut. Rasulullah menyebutkan bahwa pulang perginya burung itu justru dalam rangka mencari rezeki. Jika burung itu duduk saja di sarangnya, tentulah rezekinya tidak akan datang".


Nasehat Rasulullah Muhammad SAW kepada para sahabat itu dapat dijadikan pelajaran bagi kita umat Islam. Ia adalah pelajaran tentang pasrah. Burung itu tidak tinggal diam di sarangnya tanpa bersusah payah mencari makan, tetapi sekawanan makhluk Allah SWT ini keluar di pagi hari dengan perut kosong, kemudian berusaha, mencari dan berhasil; lalu pulang di akhir siang ketika perutnya sudah dalam keadaan kenyang.

Bahkan burung tidak tinggal diam begitu saja ketika ia menginginkan untuk memiliki sebuah tempat tinggal kelak ketika mereka sudah memiliki anak. Begitu juga burung itu telah mengajari anaknya ketika sudah layak untuk mandiri diajak mencari makanan di alam bebas dengan latihan terbang dan mencari makan.

Al-Qur'an memberi isyarat tentang perolehan yang didapat dengan cara berusaha dan mencarinya. Sedangkan pencarian mengharuskan kerja, usaha dan upaya, serta pencurahan segenap perjuangan. Baru kemudian di belakang semuanya itu adalah pertolongan dan pemeliharaan Allah SWT.

إِنَّ الَّذِينَ تَعْبُدُونَ مِن دُونِ اللهِ لاَيَمْلِكُونَ لَكُمْ رِزْقًا فَابْتَغُوا عِندَ اللهِ الرِّزْقَ وَاعْبُدُوهُ وَاشْكُرُوا لَهُ إِلَيْهِ تُرْجَعُونَ .

"Sesungguhnya yang kamu sembah selain Allah itu tidak mampu memberikan rizki kepadamu; maka mintahlah rizki itu di sisi Allah, dan sembahlah Dia dan bersyukurlah kepada-Nya.Hanya kepada-Nya kamu akan dikembalikan. "(QS. 29/Maryam :17)

Dalam sebuah kitab “Ihya”-nya imam Al-Ghazali berkata:


“Terkadang orang menyangka bahwa makna tawakkal adalah meninggalkan usaha dengan badan, meninggalkan perenungan dengan hati, dan membiarkan hidup ini jatuh ke bumi seperti potongan kain lusuh yang terbuang, atau seperti sepotong daging yang diletakkan di landasan pemotongan. Ini adalah anggapan orang bodoh. Bahkan Islam mengharamkan sikap hidup demikian. Islam amat memuji orang-orang yang mampu bersikap pasrah dengan benar. Bagaimana mungkin seseorang mendapat maqam agama yang mulia dengan melakukan sesuatu yang dikhawatirkan agama? Jika kamu menunggu supaya Allah SWT menjadikan kamu kenyang tanpa roti, atau menciptakan roti supaya bergerak ke arahmu, atau menundukkan dua malaikat supaya mengunyahkan makanan di mulutmu lalu dimasukkan ke dalam rongga perutmu, maka kamu benar-benar buta terhadap sunnah Allah SWT. Demikian juga jika kamu bercocok tanam, namun mengharap pohon bisa tumbuh dengan tanpa biji-bijian,… maka hal itu adalah gila.”

Pada suatu kesempatan Umar bin Khaththab pernah berkata:

“Janganlah kalian duduk-duduk tanpa berusaha mencari rezeki. Sungguh telah diketahui bahwa langit tidak akan menurunkan hujan emas dan perak.”

Rasulullah SAW dan generasi awal kaum Muslimin telah memberikan contoh bagaimana seharusnya memahami tawakal. Mereka adalah orang-orang yang sanggup untuk bekerja keras dalam berbagai lapangan kehidupan; perdagangan; pertanian; perindustrian; keilmuan dan lain sebagainya. Rasulullah SAW mendorong ummatnya bekerja keras. Beliau senantiasa berdoa agar dijauhkan dari sifat lemah dan malas.

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ الْهَمِّ وَالْحَزَنِ وَالْعَجْزِ وَالْكَسَلِ وَالْبُخْلِ وَضَلَعِ الدَّيْنِ وَغَلَبَةِ الرِّجَالِ (الترمذى)

Islam memerintahkan kepada ummatnya untuk mengikuti sunnatullah tentang hukum sebab akibat. Usaha harus dilakukan. Betapa Allah SWT memerintahkan kepada ummat Islam untuk senantiasa berusaha keras, yang nantinya pertolongan Allah akan datang.

Al-Qur'an yang mulia banyak memberi pelajaran kepada manusia tentang nilai usaha dan kerja. Seperti firman Allah SWT yang terdapat di dalam S 9 /At-Taubah: 105.

وَقُلِ اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ

"Dan katakanlah:"Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mu'min akan melihat perkerjaanmu itu."


Dilain ayat Allah SWT berfirman

فَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ . وَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ .

"Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. (QS. 99:7). Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula." (QS. 99:8)

Tidak Dibenarkan Bertawakkal Kepada Ikhtiar

Meski kita disuruh untuk berikhtiar sebelum bertawakkal, mengikuti hukum sebab-akibat, tetapi kita tidak dibenarkan bertawakkal kepada ikhtiar. Sebab-akibat memang sunnatullah. Belajar adalah sebab untuk mendapatkan ilmu. Berobat adalah sebab untuk sehat. Tetapi bukanlah sebab semata-mata yang menimbulkan akibat. Kadang ada sebab tetapi tidak menimbulkan akibat. Contoh dua orang pasien di rumah sakit. Diagnosa dokter sakitnya sama, obat yang diberikan sama, tetapi yang satu sembuh sebaliknya yang satu meninggal.


Sekalipun bukan sebab saja yang menimbulkan akibat, tetapi sebab tidak boleh dilupakan. Yang diperintahkan oleh agama dan sesuai dengan akal adalah mengusahakan sebab, dan menyerahkan hasilnya pada Allah.

Usaha tanpa pertolongan Allah bisa sia-sia. Oleh sebab itu seorang Muslim tidak menggantungkan diri sepenuhnya kepada ikhtiar (tanpa memasrahkannya kepada Allah), karena sikap seperti itu akan mendatangkan kesombongan.

Mungkin kita perlu menengok kembali kisah Ummat Islam dalam perang Hunain yang diabadikan oleh Allah di dalam al-Qur'an S.9/At-taubah: 25 :

لَقَدْ نَصَرَكُمُ اللهُ فِي مَوَاطِنَ كَثِيرَةٍ وَيَوْمَ حُنَيْنٍ إِذْ أَعْجَبَتْكُمْ كَثْرَتُكُمْ فَلَمْ تُغْنِ عَنكُمْ شَيْئًا وَضَاقَتْ عَلَيْكُمُ الأَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ ثُمَّ وَلَّيْتُم مًّدْبِرِينَ

"Sesungguhnya Allah telah menolong kamu (hai orang-orang mu'minin) di medan peperangan yang banyak, dan (ingatlah) peperangan Hunain, yaitu ketika kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlahmu,maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepadamu sedikitpun, dan bumi yang luas itu terasa sempit olehmu, kemudian kamu lari kebelakang dan bercerai-berai."
(QS. 9:25)


Sebuah Materi Kajian
Bp. Drs. H. Teguh, M.Pd
(Wakil Ketua II Pengurus Daerah Muhammadiyah Surakarta yang juga merupakan Paman dari Fuad Suyatman, Ch.M. =)

0 komentar:

Posting Komentar